Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Bermain-main Perkusi dengan Puisi

13 Februari 2018   18:06 Diperbarui: 13 Februari 2018   20:31 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (pixabay.com)

Andi Wi dengan puisinya yang  berjudul "Cinta yang Menyembuhkan Dirinya Sendiri" juga bermain dengan kata-kata yang memiliki saling berbunyi. Perhatikan bait dua dari puisi berikut:

Dan kepalamu menjadi satu-satunya batu yang ditumbuhi semak ilalang.
hijau yang kamu rindukan keberadaannya seperti dulu kamu menjadi bocah layang-layang di ladang.

Kata-kata "ilalang", "layang-layang" dan "ladang" adalah serangkai bunyi-bunyian yang dihasilkan tanpa sedikitpun mengubah makna dan/pesan yang ingin Andi Wi sampaikan lewat puisinya. Rima akhir yang disajikan dalam puisi tersebut, memang hadir dalam pengulangan bunyi yang berselang baik --entah pada kata, larik atau bait-- pada sajak.

Rima pun bukan sekadar metafora. Namun, rima dalam puisi dibutuhkan sebagai penghalus sebuah makna dan mempertegasnya sekaligus. Kata-kata "ilalang", "layang-layang" dan "ladang" menegaskan artinya secara harfiah. Tetapi kata-kata tersebut membuat bait dalam puisi menjadi bahasa-puisi menjadi mengalir.

"Puisi itu adalah permainan bunyi," - Sapardi Djoko Darmono.

Atau, lihat juga dalam puisi "Kata-kata dan Cahaya Bercengkrama" yang ditulis Achmad Saifullah Syahid. Secara umum, puisi tersebut berbentuk kumpulan rima di hampir setiap lariknya. Sebagai contoh: Di padang rumput berbaring/Penggembala merdeka meniup seruling.

Penggambaran dalam puisi itu sebagai seolah-olah lanscape dalam melihat realitas. Metafor yang disajikan tetap ada di luar konteks. Di mana kita melihat dunia dari memandangnya, bukan dunia yang mendatanginya. Sebab larik berikutnya menjelaskan dengan analogi "Bagai dua bocah bermain kabut di angkasa".

Hal semacam itu terus berulang dengan rima yang sangat baik. Baik rima akhir maupun rima dalam (rima di antara dua kata atau lebih pada satu larik sajak). Rima itulah yang pada akhirnya menjadi satuan bunyi yang kental dan kentara.

***

Suara dan bunyi, menurut Afrizal Malna, itu ikut membentuk memori maupun identitas sosial. Rita Haryanti mencoba memberi suara dan bunyi secara bersamaan dalam puisi "Antre".

Sikap bijak ketika berderet ke belakang
Tak ada yang terkekang
Abaikan waktu berpacu melenggang
Berbagai harapan dalam antrean

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun