Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Bermain-main Perkusi dengan Puisi

13 Februari 2018   18:06 Diperbarui: 13 Februari 2018   20:31 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (pixabay.com)

Afrizal Malna membuat epilog yang baik untuk buku puisi terbaru Kiki Sulistyo "Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?". Tulisnya: kehadiran puisi-puisi Kiki merupakan bagian dari gejolak baru dalam identitas puisi di Indonesia, di mana identitas puisi berada dalam semacam arus balik formalisme puisi, sebagaimana yang berlangsung dalam bentuk sajak mengukur pilihan kata melalui bunyi benturan konsonan, vokal maupun arti katanya.

Seperti "perkusi", begitu istilah yang digunakannya. Bahwa puisi-puisi yang disajikan Kiki Sulistyo mengajaknya untuk bermain-main dengan kata, bunyi, dan suara yang dihasilkan. Pilihan-pilihan diksi yang Kiki Sulistyo gunakan, tanpa sedikitpun mengesampingkan arti dan pesan dalam puisinya, mampu menjadikan puisinya menjadi lebih segar.

Membaca puisi-puisi Kiki Sulistyo kita akan diperkaya akan bahasa (-puisi) yang saling-silang di antara mendengar dan mengucapkan. Bahwa puisi-puisinya menghasilkan bunyi, sekaligus suara secara bergantian. Laiknya mendegar perkusi dari gelas-gelas yang didentingkan berirama.

Kesegaran inilah yang ditawarkan Kiki Sulistyo pada pembaca sastra Indonesia. Bahwa hal-hal seperti yang dilakukannya membuat pembaca sastra tidak kadung jenuh dengan arus utama puisi kebanyakan. Puisi menjadi sesuatu yang berkembang, tidak seperti sedang membentuk kerajaan-kerajaan fotokopi antara Guru dan Murid, jika boleh meminjam isitilah Goenawan Mohamad.

***

Kita sekarang ada pada zaman di mana teknologi hadir membawa pencerahan. Tentu itu adalah harapan. Informasi dan disinformasi saling bertabrakan langsung, keterbukaan menjadi bias, kecepatan penyebaran yang sulit lagi terhitung jumlahnya. Waktu dan ruang nyaris tiada batas. Kemudian, cobalah berhenti sejenak. Walau sekadar rehat, barangkali, puisi bisa jadi alternatif untuk mewaraskan.

Sebagaimana sastra pada umumnya, puisi kerap menyajikan sebuah "bangunan baru". Pembaruan yang digunakan dalam tatanan sosial dalam hal mengkritik, memelajari dan (pada akhirnya) merenungkan.

Kiki Sulistyo sudah memulai dengan puisi-puisinya dalam buku "Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?". Kembali mengutip apa yang ditulis Afrizal Malna, pembaca mendapat pintu masuk melalui sebuah kerja internalisasi.... Masalalu dan masa kini serentak dibuat menjadi "waktu dalam puitika" atau "waktu puisi".

Menjadi sesuatu yang menarik jika ternyata melihat setengah lusin puisi yang ada di Fiksiana ini. Tentang bagaimana memainkan perkusi dalam puisi? Suara dan bunyi yang silih-berganti bisa kita dengar dan ucapkan.

***

Kata-kata, seringkali hadir bukan sebagai huruf, tempat menggali pemaknaan, akan tetapi sebagai bebunyian: pengulangan, konsonan yang terkandung di dalamnya, panjang-pendek suku kata dan lain-lain. Dan kita seringkali terjebak di sana. Mengernyitkan dahi; mencoba memahami maksud dari puisi. Kadang perlu juga kita merayakan puisi sebagai bunyi-bunyian yang jarang kita dengarkan.

Andi Wi dengan puisinya yang  berjudul "Cinta yang Menyembuhkan Dirinya Sendiri" juga bermain dengan kata-kata yang memiliki saling berbunyi. Perhatikan bait dua dari puisi berikut:

Dan kepalamu menjadi satu-satunya batu yang ditumbuhi semak ilalang.
hijau yang kamu rindukan keberadaannya seperti dulu kamu menjadi bocah layang-layang di ladang.

Kata-kata "ilalang", "layang-layang" dan "ladang" adalah serangkai bunyi-bunyian yang dihasilkan tanpa sedikitpun mengubah makna dan/pesan yang ingin Andi Wi sampaikan lewat puisinya. Rima akhir yang disajikan dalam puisi tersebut, memang hadir dalam pengulangan bunyi yang berselang baik --entah pada kata, larik atau bait-- pada sajak.

Rima pun bukan sekadar metafora. Namun, rima dalam puisi dibutuhkan sebagai penghalus sebuah makna dan mempertegasnya sekaligus. Kata-kata "ilalang", "layang-layang" dan "ladang" menegaskan artinya secara harfiah. Tetapi kata-kata tersebut membuat bait dalam puisi menjadi bahasa-puisi menjadi mengalir.

"Puisi itu adalah permainan bunyi," - Sapardi Djoko Darmono.

Atau, lihat juga dalam puisi "Kata-kata dan Cahaya Bercengkrama" yang ditulis Achmad Saifullah Syahid. Secara umum, puisi tersebut berbentuk kumpulan rima di hampir setiap lariknya. Sebagai contoh: Di padang rumput berbaring/Penggembala merdeka meniup seruling.

Penggambaran dalam puisi itu sebagai seolah-olah lanscape dalam melihat realitas. Metafor yang disajikan tetap ada di luar konteks. Di mana kita melihat dunia dari memandangnya, bukan dunia yang mendatanginya. Sebab larik berikutnya menjelaskan dengan analogi "Bagai dua bocah bermain kabut di angkasa".

Hal semacam itu terus berulang dengan rima yang sangat baik. Baik rima akhir maupun rima dalam (rima di antara dua kata atau lebih pada satu larik sajak). Rima itulah yang pada akhirnya menjadi satuan bunyi yang kental dan kentara.

***

Suara dan bunyi, menurut Afrizal Malna, itu ikut membentuk memori maupun identitas sosial. Rita Haryanti mencoba memberi suara dan bunyi secara bersamaan dalam puisi "Antre".

Sikap bijak ketika berderet ke belakang
Tak ada yang terkekang
Abaikan waktu berpacu melenggang
Berbagai harapan dalam antrean

Dalam rentetan kata "sikap" dan "bijak"; "berderet" dan "berpacu" lahir suara dan bunyi yang membentuk memori tersendiri dalam kejadian atau peristiwa tertentu --dalam hal ini, antre. Sikap seperti inilah yang pada akhirnya membentuk serpihan kenangan dan/atau ingatan tentang budaya yang kini abai untuk saling baris dan teratur rapih.

Budaya antre digambarkan dengan perkusi saling-silang kata-yang-berpuisi. Namun kemudian, puisi "Antre" hadir di antara dua dunia: kenyataan dan harapan.

Untuk itulah kenapa Sapardi kerap mengingatkan kalau puisi adalah bunyi; puisi itu --biar bagaimanapun-- mesti dinyanyikan.

(hay)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun