Nasib buku ternyata tidak cuma untuk dibaca, tapi juga (di)hilang(kan). Setidaknya pasti kamu pernah merasakannya walau hanya sekali, bukan? Bisa karena dipinjam atau lupa dikembalikan –dan  kamu enggan untuk menanyakan.Â
Tapi memang begitulah buku: punya perjalanannya masing-masing setelah dilahirkan (oleh penulisnya, kemudian di tangan pembacanya). Atau, jika boleh meminjam istilahnya Pramoedya Ananta Toer, "setiap buku akan memiliki jalan senjarahnya sendiri."
Hal semcam itu pun kerap –atau, sering– terjadi di perpustakaan. Paling tidak di perpustakaan yang suka saya datangi: Teras Baca.Â
Letaknya yang ada di bagian belakang sebuah komplek perumahan Bambu Kuning, Bojonggede, Kabupaten Bogor ini membuat hanya orang-orang yang tahu atau benar-benar niat datang ke sana untuk sekadar baca-baca. Tapi masih ada juga segelintir orang datang ke sana dan dimanfaatkan sebagai "tempat berkumpul" semata.
Begini, akan saya ceritakan barang sedikit segelintir orang-orang itu. Perpustakaan Teras Baca punya karakter pembaca yang unik. Sebab banyak di antara mereka datang untuk kumpul-kumpul. Berorganisasi.Â
Hampir setiap tahun, meski hanya satu kali, Perpustakaan Teras Baca dijadikan sekretariat-tak-tetap Karang Taruna. Yha, ere kiwari memang masih ada Karang Taruna.Â
Mereka-mereka ini pembaca tetap buku-buku di Perpustakaan Teras Baca. Membaca jadi sebuah keterpaksaan karena keadaan. Di sana tidak ada fasilitas maupun mainan lain selain buku. Rata-rata umur mereka yha sekitar belasan: antara SMA dan (baru jadi) mahasiswa. Bisa dibilang cerminan generasi Milenial.
Namun, saya jadi memikirkan ini: ternyata ada yang lebih menyedihkan dibanding ditinggal saat lagi sayang-sayangnya; dilabeli sebagai generasi milenial. Menyedihkan lho menjadi generasi Milenial.Â
Sudah banyak stigma negatif yang kadung mereka dapat. Padahal, tidak semua pembuktian bisa langsung dirasakan, bukan?Â
Ada proses, ada perbaikan yang terus menerus dilakukan. Tapi melihat dari apa yang generasi Milenial lakukan di Perpustakaan Teras Baca, saya jadi percaya satu hal: ternyata stigma negatif itu sedikit ada benarnya.
Dan kembali ke awal, jika dihitung-hitung, sejak Perpustakaan Teras Baca berdiri, sudah 10 buku (meng)hilang. Setengah di antaranya adalah novel. Selebihnya buku non-fiksi. Buku-buku yang sudah tersusun rapih di rak, kemudian diturunkan oleh seseorang, dibaca, kemudian –walau ini tidak sering– bisa hilang.Â