Mohon tunggu...
LuhPutu Udayati
LuhPutu Udayati Mohon Tunggu... Guru - ora et labora

Semua ada waktunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Hari Ulang Tahun

11 Agustus 2020   19:11 Diperbarui: 11 Agustus 2020   20:56 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Widya berjalan seperti ombak, maju dengan hati gempita, tapi mundur lagi beberapa langkah setiap kali kakinya berada di depan gerbang rumah terkesan lama dan  berhalaman luas itu. Sudah tiga hari ini dia seperti kehilangan kekuatan untuk melanjutkan langkah, sekadar sampai di depan pintu pemilik rumah, mengetuknya walaupun mungkin tak akan ada yang membukakan lagi.

Sore yang basah sesudah hujan kali ini pun dicobanya lagi. Masih membawa sekuntum mawar berwarna kuning yang selalu dibeli menggantikan mawar kuning yang tiga hari ini tak pernah sampai pada tangan yang dikehendaki Widya. 

Sedikit bersijingkat menghindari beberapa genangan air, Widya masih menyimpan harapan untuk bertemu dengannya. 

Matanya berbinar ketika didapatinya Mbak Sita asik  menyulam di teras depan ruang tamu. 

"Selamat sore, kakak cantiik," Widya menyapa dengan lantang dari kejauhan .

"Haiii, Widyaaa," sontak Mbak Sita menghentikan tarian tangannya pada kait sulaman. Setelah berdekatan, keduanya tetap cipika cipiki walaupun di masa pandemi seperti ini. Persahabatan terkadang dapat melupakan batasan-batasan protokoler. Hmmm...

"Mbak, aku tu udah tiga hari ke sini, tapi kok ga pernah ada tanda-tanda kehidupan sih?"

"Maksudmu?"

Aku duduk di sebelahnya sambil meletakkan mawar kuning cantik yang kujadikan satu dengan sebatang coklat, persis saat euforia Hari Valentine . Maksudnya, rumah ini sepiiii..seperti taman makam pahlawan, sahutku becanda.

"Huss..sembarangan," Mbak Sita meninggikan suaranya tanda tak suka.  Kelihatan lucu kalau dia marah seperti itu karena Mbak Sita itu sangat lembut dan penyabar.

"Tumben bawa mawar segala dirimu?" Mbak Sita melirik mawarku 

"Mawar kuning itulah yang mendorong kakiku kemari sejak tiga hari lalu," ucapku sendu sambil menahan kelu.

"Buat aku? Aku ga ulang tahun sayaaang," dia menjentik hidungku.

"Kata siapa buat kakak?"

"Terus buat siapa dong?" matanya mengerling indah. 

"Buat aku...," suara yang selama ini kurindukan tetiba mengalir menyapaku hangat.

Seketika aku berdiri, meski badanku merasakan getaran yang hebat. Entah apa nama yang pantas untuk perasaanku saat ini tapi aku berusaha tidak limbung. 

"Mas Dien, kapan nyampe?" pertanyaan aneh tiba-tiba terlontar begitu saja, padahal nyata-nyata dia kabari kalau kemungkinan pulang tiga hari lalu. Lelaki bernama lengkap Dienara juga janji mengabari kalau memang dirinya jadi pulang, makanya aku selalu kemari sejak tiga hari lalu. Tapi itulah, selalu juga tanpa hasil. Hingga, sore ini...

Mbak Sita yang lemah lembut dan perasa itu seperti paham suasana yang tercipta. Dia memilih pergi ke belakang.

"Kalian di sini ya, aku buatin teh manis deh. Kebetulan tadi buat pisang goreng, " alasan sederhana memberi kesempatan kepada kami untuk berbincang.

Hening menyergap kami. Hanya saling melempar pandang. Suara hatiku terus menggedor memintaku untuk bicara. Harus bicara, harus bicara. Harus. 

"Mas, Dien, aku datang memenuhi janji," kuberanikan memulai

"Tak ada janji yang harus ditepati oleh siapapun, Widya," balasanya kalem.

" Tidak kamu. Tidak juga aku. Tidak di antara kita," Mas Dienara kali ini tersenyum.

"Tapi,Mas...aku kan sudah janji akan meminta maaf dengan caraku," kuangsurkan mawar kuning dan sebatang coklat. Konon, warna kuning warna yang menyiratkan harapan. Dan sungguh, aku berharap dia memaafkanku. 

"Untukmu,Mas," 

Dia tak menyambutnya, hanya tersenyum. 

"Letakkan saja di situ, terlihat lebih indah," begitu saja ucapannya.

 Ya, Tuhan...dia masih marah atau dia bahagia? Tak dapat kuterjemahkan artinya, terlalu samar bagiku. 

Masih terbayang kecewa di hatinya, saat dia pulang ke kota ini seminggu lalu. Mas Dienara memang bekerja di luar kota dan seminggu sekali selalu pulang untuk melepas rindu pada rumahnya yang luas, pada kami teman- teman masa kuliahnya. 

Walaupun dia kakak kelas setahun di atasku, sementara Mbak Sita kakaknya, beda dua tahun denganku, tapi kami dipertemukan pada kegiatan pers kampus mahasiswa, yang terdiri dari mahasiswa berbagai fakultas.  Aku dan Mas Dien pada bagian reportase ,sementara Mbak Sita ketika itu dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi pers kampus kami. Mbak Sita memang pantas untuk itu karena dibalik kelembutannya sesungguhnya tersimpan kekuatan, layaknya perempuan-perempuan cerdas lagi cantik.  Kami berkampus di perguruan tinggi swasta terkenal di kota ini. 

Seminggu lalu, dengan penuh harap Mas Dien ingin bertemu denganku. Hanya ingin bertemu, katanya tanpa menjelaskan maksudnya.  Dan aku sudah menyanggupi untuk meluangkan waktu baginya. Aku sudah mengaguminya sejak lama dan pernah berangan-angan seandainya...

 Tetapi semua menjadi kacau karena seorang Tanti tiba-tiba mendatangiku pada waktu yang seharusnya aku bersama Mas Dienara. 

"Wid, kita sesama perempan. Jika saling mengagumi satu orang lelaki, tentu persaingan tidak sehat,bukan?" menohok sekali kata-katanya, walau aku belum mengerti arah pembicaraannya.

"Maksudmu?" 

"Aku tahu banget kekagumanmu pada Mas Dien. Tapi kuingatkan padamu, sore ini tak usah menemui dia," Tanti mendikteku.

"Apa urusanmu? Aku mau ketemu si A, si B atau Z sekalipun, tak ada yang berhak melarangku! Paham?" ujarku ketus. Heran aku sama Tanti yang memang tersohor suka  memecah persatuan dan kesatuan persahabatan. Selalu saja tidak bahagia lihat orang bahagia. Aku tinggalkan saja dia di teras rumahku. Dia tertawa sumbang, lalu ikut pergi tapi berbeda arah denganku. 

Gerimis mulai menetes satu-satu. Kuhentikan sepeda motorku ke pinggiran jalan buat mengambil jas hujan di bawah jok.  Akh! Tak ada di tempatnya. Teringat aku, kemarin sore Puspa ke rumah dan ketika akan pulang, dia pinjam jas hujanku karena jas hujannya tertinggal di rumahnya. 

Duh, aku melirik jam tangan, sudah lebih 15 menit dari janjiku sama Mas Dien. Untung aku masih berada di jalan deretan toko-toko yang memajang jas hujan, terpaksa merogoh dompet untuk membeli yang baru. Aku tidak mau terlihat seperti kucing yang habis jatuh di selokan saat bertemu Mas Dien. 

Akhirnya, pada menit ke-30 aku baru bisa tiba di tempat yang sudah dijanjikan oleh Dienara. Tapiiii...siapakah yang sudah menemaninya duduk di sana? Sontak aku membalikkan badan, tak niat lagi bertjumpa dengan seorang Dienara. Ternyata ini maksud kalimat yang tadi kudengar. 

"Widyaaa!" teriakan suara Mas Dien  memanggilku. Tapi aku memilih pulang .

Entah mengapa rasa cemburu menyergapku.  Apakah ini tandanya aku benar-benar mencintai Dienara? Kutepis pikiranku sepanjang perjalanan. Kudengar dering telepon genggamku. Aku tak ingin menerimanya.

Sampai di rumah, aku mandi dan keramas. Sedikit apapun kena air hujan, aku harus mandi, sebab pengalaman waktu SMP mengajarkanku kejelekan air hujan bagi tubuh. Harus dibersihkan langsung dengan mandi dan keramass. Aku demam tinggi waktu itu, karena hanya membasuh kaki tangan dan wajah, mengucek-ucek rambut basah dengan handuk, padahal punggungku juga terguyur air hujan mengandung zat asam itu. 

Selesai mandi, kubaca WA dari Dienara...

"Widya, kamu tidak adil padaku sore tadi. Aku sudah setia menunggumu lebih dari 30 menit, tapi kamu pergi begitu saja" 

Deg wajahku pias, memanas rasanya.

"Tapi Mas Dien, ada Tanti bersamamu. Aku tak ingin mengganggu kebersamaan kalian," balasku via chat.

"Tahu apa kamu tentang,dia?" dia balas chatku

Hmmm...aku makin tak mengerti. Langsung aku menelepon tak ingin via chat lagi. 

"Ga usah telpon lagi. Aku berangkat, Widya. Sudah malam, besok sudah bekerja," dia pamitan akan ke kota tempatnya bekerja, yang berjarak sekitar 30 km dari rumahnya. 

Dan aku? Hanya mampu terdiam. 

Kubaca sekali lagi chatnya, "Tahu apa kamu tentang,dia?"

Sesal menumpuk di kepala. Seharusnya aku tadi berani mendatangi meja itu. Mengapa aku menyia-nyiakan kesempatan untuk diajak bicara dengannya? 

Sebagai perempuan dewasa, beberapa perhatiannya sejak tiga bulan dia pindah kerja ke kota lain,  mulai kurasakan. Aku merasakan perhatian-perhatian kecilnya. Mungkinkah? Tapi aku tidak mau terbuai dengan anganku sendiri.

 Aku membuat susu coklat panas untuk mengusir dingin di badan dan gigil di hatiku.

Telepon genggamku berdering. Mbak Sita?

"Hallo,Mbak?" tiba-tiba cemas menyergapku. 

"Widya, ada apa dengan Dienara? Dia katakan dia kecewa sama kamu, sudah menunggu lama, tapi kamu malah pergi." Mbak Sita seperti seorang jurnalis mengejar berita, menginterogasi kelakuanku pada adik kesayangan dan satu-satunya itu.

Kuceritakan semuanya termasuk apa yang disampaikan Tanti padaku. 

"Tahu apa kamu tentang dia, Widya?" Ya, Tuhan kalimat yang sama kudengar untuk kali kedua.

"Sebentar lagi, kamu telpon idolamu itu yang juga diam-diam mengidolakanmu. Kudu minta maaf, hanya itu pesanku, titik," Mbak  Widya tertawa dari seberang sana.  

Benar, aku menelponnya saat kuhitung kira-kira dia sudah sampai di kota tujuannya. Mas Dien hanya mengatakan, nanti saja kamu minta maaf, kalau aku pulang. Dan aku kabarin kalau aku pulang. Mungkin seminggu lagi aku ambil cuti ada keperluan keluarga. Dan seminggu itu pula, tiba-tiba Dienara seolah-olah tak pernah ingat punya teman bernama Widya. Chatnya sangat jarang. 

"Hei-hei...kok pada diam-diaman nih," Mbak Sita datang dengan tiga gelas teh manis dan sepiring pisang goreng,hmm..

"Well, katakan saja semuanya,Dienara," kakaknya memecah kebekuan kami.

Dienara diam saja. Dia ambil sepotong pisang goreng tanpa mempersilakan aku mengambilnya. Kakaknya menyodorkan pring kepadaku. 

"Yok, sambilan..."

"Widya, tahu apa kamu tentang , Tanti?" Dienara tiba-tiba mengulang kembali kalimat yang minggu lalu aku dengar, sesudah menyeruput teh manis buatan kakaknya.  Tentu saja aku tak menyangka mendapat pertanyaan itu lagi. 

Aku sampaikan semua perkataan Tanti sebelum aku harusnya ketemu Dienara. Dia hanya tersenyum mendengar ceritaku. 

"Tanti itu pacar sepupu kami. Sepupu yang baik dan sabar pada Tanti." Mbak Sita memulai cerita untukku. 

"Tanpa alasan prinsip dia memutuskan hubungan dengan Andre sepupu kami itu," imbuh Dienara. 

"Padahal kami sudah ingatkan Andre, tapi namanya cinta, Andre tetap jalan sama Tanti," kali ini dilanjutkan Mbak Sita. 

"Dan Widya, terbuktilah bahwa alasan yang tidak prinsip itu ternyata sebagai kedok saja untuk Tanti jalan dengan lelaki lain. Kami sekeluarga kecewa, marah dan tak suka. 

"Lalu apa hubungannya dengan aku,ya,Mbak? Mengapa dia melarangku menemui Mas Dienara waktu itu?" Ingatanku menerawang.

"Karena dia tidak rela melihat dirimu akan kubahagiakan, Widya," Dienara bangkit dari kursinya menujuku. Dia mengambil mawar kuning itu, dia genggamkan pada kedua tanganku, kehangatan menjalari pipiku, mataku, wajahku...

"Selamat Ulang Tahun, Widya Apsari," Dia tersenyum hangat sekali. Aku terharu.

"Kulamar kamu jadi istriku hari ini," Mas Dienara mengatakannya secara tegas lalu memelukku sayang. 

Aku hanya mampu menatap wajahnya. 

Mbak Sita tersenyum lembut, mengangguk padaku.

Inilah acara keluarga yang aku maksud, Widya. Aku datang untukmu, untuk masa depan kita,"  Mas Dienara semakin mempererat pelukannya. Mataku terasa berair.. 

Mbak Sita pun tersenyum bahagia memandang kami.

"Selamat ulang tahun, calon adik iparku," dia merentangkan tangannya. Kulepas pelukan Mas Dienara. 

"Terima kasih,Mbak," ucapku terbata

"Aku akan menemui mamamu, Widya. Akan kusampaikan niat tulusku ini. Setelah itu, baru pamanku mewakili  keluarga besarku akan datang menemui keluargamu. " Dienara menggamit bahuku, memandangku penuh sayang.

Mereka hanya hidup berdua setelah kecelakaan ynag merenggut kedua orang tuanya. Dalam pengawasan keluarga besarnya, mereka tetap bertumbuh saling mengasihi dan menguatkan hingga sukses sampai saat ini.

Cinta memang tidak pernah datang tiba-tiba... 

(pada suatu tempat, pada suatu waktu; sebelas Agustus dua ribu dua puluh)




 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun