dan aku memilih diam, ketika jarak menjauhkan kita  pada hari-hari berdebu, serupa air yang datang  lalu pergi lalu datang lagi  lalu pergi lagi, mengaliri bening mata air hidupmu ; tapi bukan untukku
dan aku memilih kelu, ketika jarak mencemooh dialog dini hari kita, tentang senja yang selalu ingin bersua malam tapi tak pernah sungguh melepas siang, serupa bayi yang rindu menyusu pada ibunya, sementara ibu telah menggeletakkannya pada beranda panti asuhan berbalut kain batik lusuh sambil dengan kesadaran penuh menuliskan ; titip buah rahimku, karena aku tak mampu mengalahkan aibku
dan aku memilih rindu, ketika  cahaya wajahmu memberiku cinta tak terbantahkan, serupa kunang-kunang yang menuntun jalan seperempat malamku agar aku tak pernah tersesat pulang ke bilik hatimu  sambil kutuliskan aksara di keningmu : kenang aku entah sampai kapan
dan aku memilih metamorfosa lini hidupku, serupa kupu-kupu cantik, ketika engkau menuliskan jarak di antara kita, menghapus antologi puisi hatiku  yang setia kutulis malam- malam berteman  hujan rintik dan rindu teramat sangat  : tapi aku tak memiliki kepompong untuk memintal sayapÂ
dan kamu?
bawalah serta imajiku
mungkin kita tak akan berjarak lagi ; olehnya
Â