Mohon tunggu...
LuhPutu Udayati
LuhPutu Udayati Mohon Tunggu... Guru - ora et labora

Semua ada waktunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karena Aku Perempuan

25 Agustus 2018   14:38 Diperbarui: 25 Agustus 2018   14:41 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dari pixabay.com

Hujan Bulan Juni seperti pada puisi Sapardi Djoko Damono, memang tak pernah sungguh ada terus-menerus, setidaknya pada bulan Juni ini. Walaupun pernah ada, ia tak lebih dari sapuan air yang melintas tiba-tiba, mungkin hanya ingin mengabarkan sisanya. Dan, aku, menyadari sebagai satu kesia-siaan menunggumu, seperti menunggu turunnya di hujan bulan Juni pada puisi fenemonal itu.

Janganlah,engkau sampaikan bahwa hari kedua puluh satu akan mengabariku, di mana titik terakhir posisimu. Ini hari, bahkan sudah lima kali 21 hari yang engkau janjikan. Bodohnya, aku masih menunggui hal itu terwujud dan engkau secara mujizat ada di depanku, membawakanku selingkar cincin yang ada namaku, dan selingkar  lagi ada namamu. Lalu, kita akan saling memakaikannya di jari manis sebelah kiri, sebagai tanda sah pertunangan kita.

"Melamun tentang apa, Ulan?" Mamaku memergoki kesendirianku di sore bermendung itu.
"Hanya mengingat kenangan kecil,Ma." kataku jujur.
"Sudahlah,sayang,tidak usah mengingat dia lagi. Masih banyak hal yang bisa Kau pikirkan, selain dia,dia, dan dia." Mama mengusap pundakku, menasihatiku dengan suaranya yang senantiasa meneduhkan.
Aku hanya tersenyum kecil dan memilih masuk kamar lagi, menyisakan raut wajah sedih mama.

Kuakui,aku tak pernah bisa melupakan semua tentangnya. Bagiku, dia masih seseorang yang akan menepati janji. seseorang yang akan sungguh memberikan kebahagiaan dan mengisi kebahagiaan dalam mimpi masa depan kami. Aku masih setia pada perasaanku. pada penantian 21 hari yang ia janjikan, setidaknya sampai pagi tadi, ketika kuterima titipan surat dari temannya temanku, yang baru pulang dari kota seberang.

"Maafkan diriku,Ulan. Tak ada hari ke-21 lagi di antara kita. Aku memang layak kau sebut lelaki pengecut, karena membiarkanmu berharap untuk hari ke-21 kita. Aku, telah menikah dengan gadis setempat, karena aku tidak tahan dengan kesepian yang menderaku saban hari. Waktu itu, dirimu masih bersikukuh tidak mau bermukim di kota terpencil ini, segera setelah kamu wisuda dan kita menikah, seperti angan--angan kita. Maka, aku membuat skenario 21 hari itu, setelah kunjungan terakhirku di rumahmu. Maafkan, bahwa sebenarnya waktu itu, hatiku sudah mendua...."

Tak pantas lagi kubaca surat tersebut.

Dia sudah mengakui kepengecutannya, bagiku itu sudah cukup. Cukup juga untuk sekadar tahu, kemana piala hatinya, telah disematkan.

Mungkin, kelak akan kusematkan  pula piala hatiku. Kusematkan pada seseorang yang dengan tulus dan penuh kehangatan merelakan pundaknya,menjadi tempatku bersandar sejenak, jika hatiku sedih, karena aku seorang perempuan biasa.

Juni,2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun