Setelah sekian lama tidak berkutat dengan urusan korespondensi, hari ini papa tiba-tiba meminta diriku untuk membuat surat undangan resmi bagi yayasan kelenteng tempatnya mengabdi. Isinya berupa undangan kepada jajaran kelenteng lainnya di kota Makassar untuk menghadiri perayaan ulang tahun Dewi Xian-ma yang akan berlangsung dua hari lagi.
Saya terpana sekaligus kelimpungan.Â
Setelah menelan ludah berkali-kali dan mata berkedip-kedip, papa melanjutkan titahnya, "Harusnya gampang ji, to?" ujar beliau dalam logat Makassar.
Papa beralasan, seharusnya surat undangan standar semacam ini bisa kuselesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ia kembali mengingatkan "rekorku" menyelesaikan empat novel dalam waktu dua tahun.Â
Tentu saja diriku tidak berani menolak, meskipun mataku masih terus berkedip hingga beberapa saat ke depan. Bukan soal rekor. Bukan pula karena saya merasa diteror. Masalahnya, menulis surat formal jauh dari kemampuanku yang suka menuangkan khayalan ke dalam bentuk tulisan. Tentu saja, ada standar korespondensi yang harus dipatuhi, dan itu tidak dimulai dengan kalimat: "Pada suatu hari ..."
Sedang larut dalam kebingungan, adik saya pun menceletuk, "Kenapa tidak tanya Meta AI saja?" Â
"Ah, ide bagus," pikirku dalam hati.Â
Tanpa menunggu komando, jari-jari ini dengan lincah mengetik sebuah perintah pada laman peramban. Isinya, "Bro, tuliskan surat undangan resmi untuk menghadiri perayaan ulang tahun Dewi Xian-ma."
Alhasil sebuah surat resmi hadir di depanku. Isinya memukau, lengkap dengan bahasa baku nan sopan. Saya hanya perlu menyunting beberapa kalimat yang sesuai dengan keinginan Papa. Pekerjaanku menjadi sangat enteng dan dapat diselesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Â
Meskipun demikian, insiden singkat itu sebenarnya melawan nuraniku.Â