Bagai si punguk merindukan bulan, Aweng ngebet mau kawin lagi. Namun, bukanlah perkara jodoh atau tepukan sebelah tangan. Aweng sudah memiliki calon pengantin; Lingga yang cantik, baik hati, dan berbudi pekerti.
Namun, ia terikat dengan masa lalunya. Bertahun-tahun yang lalu, ia telah dijodohkan dengan seorang wanita. Melalui sebuah pernikahan yang sederhana, tapi sakral.
Menurut Mamanya, itu adalah keinginan leluhur. Meskipun sebelumnya ia tidak pernah melihat istrinya, tetapi itu tidak masalah. Yang perlu ia lakukan saat itu hanya berjanji di depan altar, dengan tiga batang dupa dan asap yang membumbung tinggi.
Aweng adalah seorang anak spesial. Semenjak ia dilahirkan, Mamanya sudah tahu ia tidak akan berumur panjang. Bukan karena penyakit bawaan mematikan, tetapi karena bei-jit-nya yang berkata demikian.
Lalu, ada om Akiong. Kakak tertua keluarga Xiao yang dihormati oleh seluruh sanak keluarganya. Konon ia bisa berbicara dengan leluhur. Dan, ialah yang mengusulkan agar Aweng segera menikah. Tidak peduli usianya yang belum akhil balik. Pernikahan bukan melulu persoalan cinta.
**
Hari ini Aweng baru menyesalinya. Mengapa ia bisa begitu bodoh menerima jodohnya. Rasa benci juga menyisipinya. Pernikahan anak di bawah umur, bukankah itu melanggar hukum?
Oh tidak.
Tersebab pernikahannya dengan gadis itu hanya diketahui oleh pihak keluarga saja. Bukan untuk konsumsi orang luar. Demikian pula dengan Lingga. Gadis manis itu tidak tahu status Aweng yang sebenarnya, bahwa ia adalah seorang pria beristri.
Sudah lebih dari lima tahun Aweng dan Lingga menjalin kasih. Tentunya tanpa sepengetahuan keluarganya. Lalu, rasa itu tak lagi tertahankan. Si Punguk benar-benar ingin kawin lagi. Merasakan hidup bahagia yang sebenarnya, berpoligami dengan caranya sendiri.