Setelah dianggap "matang," tanaman ini lalu digiling halus dan dilinting. Cara pengobatannya adalah dengan membakar lintingan tersebut dan dibakar di atas kulit pasien. Tujuannya agar chi (energi) pada titik penting tubuh manusia dapat mengalir lancar.
Tradisi dari China
Biksu dari Barat (India) yang pertama kali menyebarkan buddhisme di daerah Tiongkok tidak membawa serta tradisi ini. Konon "aturan main" ini dimulai oleh seorang biksu dari Dinasti Yuan (1271-1368). Saat itu ia melakukannya sebagai bentuk keteguhan hati atas penerimaan Buddha Dharma.
Tapi, ada juga yang bilang jika tradisi ini populer justru pada saat buddhisme sedang mengalami kemerosotan di China. Kala itu, banyak oknum-oknum yang berkeliaran dengan jubah biksu. Tujuannya macam-macam. Bisa untuk aksi kriminal biasa, bisa juga sebagai bentuk penyamaran para pemberontak.
Dinasti Yuan yang dikuasai oleh orang Mongol pun memberlakukan hal ini untuk membedakan biksu dari "kalangan sendiri" dan biksu palsu.
Penganut Buddhis Fanatik
Ada juga versi lainnya. Konon tradisi ini sudah ada jauh sebelum Dinasti Yuan terbentuk. Tepatnya dari zaman Dinasti Liang, era Dinasti Selatan. (502-507). Saat itu kaisar Liang Wu dikenal sebagai seorang Buddhis fanatik. Ia berkali-kali ingin menjadi biksu. Namun, posisinya sebagai kaisar tidak memungkinkan.
Sebagai gantinya, ia lalu menjalankan buddhisme sesuai kapasitasnya sebagai raja. Salah satunya adalah dengan meberlakukan amnesti bagi narapidana yang bertobat dan ingin menjadi biksu. Nah, untuk mencegah agar mereka tidak melarikan diri setelah menerima kemurahan hati Kaisar, maka bekas dupa pun harus berada di kepala mereka.
Pemerintah Komunis China sempat melarang praktik ini. Meskipun aturannya kembali dicabut pada 2007 silam.
Filosofi
Belakangan, hal ini pun berkembang menjadi ciri khas biksu Mahayana. Terlepas dari adanya tuduhan bahwa praktik ini merupakan asketisme (cara ekstrim penyucian diri), tapi, makna filsafat dari penganutnya tidak bisa diabaikan.
Sebagai informasi, penandaan dupa di kepala ini konon terdiri dari beberapa tahap. Tiga untuk pemula, enam untuk yang lebih senior, dan sembilan untuk yang paling senior.
Tiga identik dengan konsep Tri-Ratana alias tiga permata yang terdiri dari Buddha, Dhamma (ajaran Buddha), dan Sangha (Biksu Buddha). Tiga Permata ini dianggap sebagai bentuk kesucian bagi umat Buddha, dan sekaligus perlindungan tertinggi oleh Sang Buddha.
Lalu, konon tambahan tiga lagi (sehingga menjadi enam) berhubungan dengan praktik spiritual yang disarankan kepada umat Buddha. Yakni, Sila, Samaddhi, dan Panna. Artinya adalah menjaga moralitas, mengembangkan pikiran baik, (meditasi), dan mempraktikkan kebijaksanaan.