Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berdansa dengan Kematian: The Beginning

11 Desember 2022   20:20 Diperbarui: 11 Desember 2022   21:11 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berdansa dengan Kematian (blantonmuseum.org)

Dan aku tak pernah melihat kemunculan Zasil di siang hari. Tidak tahu juga dimana ia bersekolah. Ketika kutanyakan itu, Zasil hanya berkata ia sudah terlahir pintar. Adapun maghrib adalah waktu rehatnya, saat dirinya memiliki kesempatan untuk mengunjungi warga kerajaan, sekaligus teman sepadan.

Aku pernah menantang Zasil, "bawalah aku ke kerajaanmu." Tapi, Zasil enggan. Katanya tunggu sampai usiaku genap 12 tahun, baru ayahnya mengizinkan.

Ayah sering melihatku berdiri di teras, dengan mulut komat-kamit. Ia menganggapku stres, karena tidak pernah ingin berteman. Ah, tentu saja, Zasil tidak menyukai ayah. Tapi, ibuku maklum. Dulunya ia juga pernah berteman dengan Zasil. Tapi, di usia 12 tahun Zasil hilang entah kemana.

Ibu sangat peduli denganku, maklum aku adalah putri semata wayangnya. Tapi, itu bukan alasannya. Ibu berkata jika aku lahir dengan salah satu weton paling sakral, memiliki kekuatan spiritual tingkat tinggi, paku bumi, neptu tertinggi.

Tapi, nasibku tidaklah sebagus wetonku. Khususnya sejak berteman dengan Zasil. Sesekali ia hanya muncul di hadapan rumahku, lain waktu ia mengajakku berkeliling kampung, mengunjungi rumah warga yang akan mati keesokan harinya.

Menjelang ulangtahunku yang ke-12, Zasil semakin sering datang berkunjung, semakin banyak warga yang berkabung.


Lalu, tibalah giliran Ayahku yang meninggal, persis sehari sebelum ulang tahunku yang ke-12. Aku masih ingat kejadiannya, kata ibu, ayah meninggal karena kecelakaan, tapi aku tak pernah melihat jasadnya. Sampai kini, kuburannya pun tak pernah ada. Menurut Zasil, Ayah masih hidup dan bekerja di dalam hutan Kawurungan.

Sehari setelah kematian ayahku, hujan keras melanda kampung kami. Banjir bandang menyapu, menyisakan kisah pilu. Ibuku meninggal saat itu, tubuhnya hanyut, saat ia berusaha menyelamatkanku. Aku semakin membenci takdirku, apalagi saat mendengar percakapan orang-orang desa jika diriku adalah kutukan, anak setan si tukang tenung.

**

Suatu hari, aku ikut dengan Kang Warso, kepala desa di Kampung kami. Ia pergi membawaku, menuju kota yang tak pernah kusentuh. Ada Koh Asung di sana, saudara ayah yang masih hidup. Ia menyuruhku memanggilnya Acek. Ada tante Ing, istri Om Asung. Wajahnya ramah, tidak pernah marah kepadaku. Mereka tidak punya anak, mungkin karena itu mereka menyanyangiku.

Aku senang di rumah ini, suasananya asri, hawanya sejuk. Terlebih lagi aku mendapatkan sebuah kamar sendiri. Tapi, bukan itu yang membuatku senang, tetapi seorang sahabat baru yang bernama Le Nie.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun