Atas prestasinya, tidak heran Dwi menjadi media darling. Media besar seperti Kompas, Detik.com, dan Tempo. Di televisi, Dwi mendapatkan tempat terhormat di panggung Mata Najwa, MetroTV.
Nyatanya, apa yang diklaim oleh Dwi Hartanto tidak lebih dari sekadar pembohongan publik.
Dwi bukanlah lulusan dari Tokyo University, melainkan Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta. Dwi tidak pernah melakukan penelitian tentang teknologi satelit dan roket, karena ia adalah mahasiswa dalam bidang intelligent systems, khususnya Virtual Reality (VR).
Roket TARAV7s tidak pernah ia rancang. Foto yang ia unggah di media sosial adalah prototipe milik DARE (Delf Aerospace Rocket Engineering) yang merupakan kegiatan mahasiswa di TU Delft.
Kementerian Pertahanan Belanda tidak pernah mendanai proyeknya. Faktanya Dwi menjalankan proyek amatiran bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya di kampusnya.
Begitu pula dengan klaimnya sebagai satu-satunya orang non-eropa yang berada dalam ring 1 Badan Luar Angkasa Eropa (ESA). Pun halnya dengan perannya sebagai direktur teknik pada proyek roket strategisnya. Semuanya tidak benar.
Untuk membuktikan prestasinya, Dwi tidak segan-segan menyertakan foto sebagai bukti. Sebagaimana saat ia mengklaim sebagai jawara pada lomba riset teknologi antar badan antariksa dari seluruh dunia.
Dwi menuturkan risetnya yang berjudul "Lethal Weapon in the sky" berhasil mengalahkan ilmuwan dari JAXA, ESA, dan NASA. Dari sana ia mendapatkan paten dari beberapa penemuannya.
Dwi juga mengunggah foto dirinya bersama cek sebesar 15.000 Euro ke media sosial. Nyatanya, cek tersebut ia manipulasi. Lokasinya di gedung Space Business Inovation Center Noordjijk, Belanda.
Saat itu memang Dwi sedang mengikuti lomba Hackathon Space Apps Challenge. Dan ia tidak berhasil naik podium.
Lalu ada fotonya bersama BJ Habibie. Dwi sesumbar jika protokoler Presiden ke-3 Indonesia itu yang menghubunginya. Habibie mengundang Dwi makan malam bersama di sebuah restoran di Den Haag, Belanda.