Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesan untuk Anies dan Mereka yang Belum Bisa Move-On

15 Juli 2022   04:34 Diperbarui: 15 Juli 2022   06:07 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesan untuk Anies, dan Mereka yang belum Bisa Move-on (gambar: kompas.com)

Disklaimer: Tulisan ini tidak mendukung salah satu calon dalam kontestasi pilpres 2024. Penulis juga tidak memiliki tendensi politik tertentu. Pemikiran pada artikel ini murni adalah opini pribadi.

**

Akhir 2021, penulis menghadiri Munas Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) di Jakarta. Dalam kesempatan itu, penulis berkesempatan bertemu dengan beberapa tokoh nasional. Di antaranya adalah Menteri BUMN Erick Thohir dan Gubernur DKI Anies Baswedan.

Penulis duduk bersama dengan delegasi dari kota Makassar. Sebelum Anies memasuki ruangan, seorang teman berkata sinis, "Ah saya tidak mau berfoto dengannya!"

Saya hanya tersenyum, karena saya tahu jika ia adalah emak-emak dari kaum Ahokers sejati. Ia masih belum bisa move-on dari kejadian pilpres 2017 silam.


Memang sih, kawan saya itu bukan warga DKI, namun peristiwa penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama masih membekas dalam dirinya.

Tak lama kemudian, entah siapa yang memulai, salah satu dari kami mengajak seluruh delegasi dari Makassar berfoto dengan Anies. Saat itu, Anies sedang duduk makan malam dengan para petinggi organisasi.

Saat kawan saya menyapa Anies, ia sama sekali tidak keberatan. "Oh, bisa. Apa sebaiknya saya berdiri saja ya, biar semua seimbang," demikian kira-kira yang terucap.

Syahdan, kami pun berdiri bersama di atas panggung dan acara jeprat-jepret berlangsung meriah. Saya baru sadar, ternyata kawan yang baru saja mengucapkan sumpah setianya, berdiri pas di sampingku.

"Loh...?" Aku pura-pura heran.

"Kan, demi medsos," ujarnya. Amsiong dah!

Setelah kembali ke meja, saya cukup kaget dengan perasaanku. Dari tadinya yang biasa-biasa saja, kini ada sedikit rasa kekaguman. Sikap Anies jauh dari gaya feodal ala pejabat-pejabat jadul. Perasaan ini kuceritakan pada para sahabat seperjuangan.

"Pencitraan, Anies memang harus begitu..." Salah seorang kawan berujar.

Saya terdiam, ada benarnya juga sih. Tapi, tentu saya punya kesan tersediri terhadap pertemuan singkat pada malam hari itu. Entahlah...

Beberapa bulan berlalu, kehadiran Anies kembali riuh di grup perpesananku. Ia berfoto bersama para pegurus INTI pada saat meresmikan gerbang China Town Glodok.

Lalu di grup perpesanan, kubu terpecah dua. Ada yang melajutkan konsep pencitraan, ada juga yang terkagum-kagum manja dengan sikap toleransi Anies. Eh...

Gerbang China Town memang sangat etnis. Kendati demikian ia tidak sepenuhnya milik orang Tionghoa. Bagi saya, konsep China Town melambangkan kemajuan berpikir sebuah bangsa. Tentang makna sejati dari pembauran.

Tapi, ada saja kaum ekstrim yang merasa jika Gerbang China Town adalah miliknya. Alasannya, karena ada embel-embel China di sana. Di sisi lain ada pula ekstrimis berlawanan yang meghubungkan poros Beijing-Jakarta. Mencoba mengulik kasus politik zaman Soekarno dulu.

Oke, abaikan saja. Sebaiknya kedua ekstrim tersebut tidak lagi bersuara, demi keutuhan bangsa ini.

Mari kita kembali kepada Anies. Sebuah tautan saya terima dari grup perpesanan. Isinya tentang hasil wawancara Anies Baswedan dengan kantor berita luar negeri, Straistimes. Sila klik di sini. 

Dalam tulisan tersebut, Anies memberi tanggapan terhadap isu sensitif yang paling sering dituduh kepadanya -- intoleransi.

Fakta perhelatan pilgub 2017 silam, membuat kelompok publik tertentu menuduh Anies telah terlibat dalam politik identitas. Ia juga diduga telah menjadi panutan oleh kelompok garis keras agama.

Tapi, Anies menanggapi santai, "jangan menuduh berdasarkan asumsi," ujar Anies, seperti yang diberitakan Straitstimes.

Anies mengklaim bahwa kebijakan dan tindakan sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam empat tahun terakhir tidak pernah mendiskreditkan kaum minoritas.

Sekarang isu tersebut kembali mencuat, sebabnya nama Anis secara konsisten selalu menempati daftar tiga besar elektabilitas. Partai Nasdem juga secara resmi telah memberikan dukungan politiknya kepada Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Selanjutnya, straitstimes juga berkata jika latar belakang keluarga Anies jauh dari kaum radikal. Ia dibesarkan dalam keluarga Muslim taat, tapi berpikiran terbuka.

Anies telah mengenal hidup dengan keragaman. Ia pernah bersekolah di Amerika, menjadi anak angkat keluarga Katolik yang taat. Anies mengaku, keragaman Jakarta selalu menjadi dasar kebijakannya sebagai orang nomor satu di ibu kota.

Bisa saja Anies sedang berkampanye, sebagaimana ia membangun gerbang China Town Glodok. Tapi, hal yang sama juga ia lakukan ketika membangun krematorium umum bagi umat Hindu yang pertama di Jakarta. Juga saat berkunjung ke gereja-gereja pada perayaan natal.

"Tuhan tidak bertanya kepada saya, berapa banyak fasilitas umum yang engkau bangun. Tapi, Tuhan akan bertanya kepada saya, bisakah orang-orang menjalankan agamanya dengan bebas?" Pungkas Anies dalam wawancara tersebut.

Sampai di sini, Anies sudah menyatakan dengan jelas, bahwa ia adalah pemimpin yang plural.

Tapi, menjadi presiden tentu bukan hanya soal keberagaman. Urusan negara itu kompleks, diperlukan pemimpin yang kompeten untuk memimpin negeri ini.

Apakah Anies bisa?

Dari beberapa percakapan di grup perpesanan, isu politik identitas Anies tidak lagi banyak disoroti. Sebagian besar menyinggung tentang sepak terjangnya yang dinilai belum memuaskan.

Seperti naturalisasi sungai, janji anggaran rumah DP nol persen, hingga mandeknya realisasi LRT fase kedua. Tentunya, hal-hal ini juga perlu menjadi pertimbangan bagi para pemilih.

Namun, si Emak Ahokers tidak peduli. Baginya sakit hati itu akan tetap ada. Idolanya diperlakukan tidak adil, terasa hingga ke dalam sanubarinya. Menurutnya politik identitas itu berbahaya, khususnya kepada kaum minoritas.

Lalu apakah yang dituduhkan kepada Anies benar adanya? Mengabaikan kaum minoritas demi keuntungan politik? Entahlah...

Pada akhirnya presiden Indonesia akan dipilih oleh rakyat. Menjalankan amanah, menjadi pemimpin bagi NKRI, bukan bentuk negara lain. UUD 1945 telah menjamin kebebasan hidup rakyatnya, Pancasila juga mengakui keberagaman bangsanya.

Tidak ada tempat bagi kaum tertentu yang ingin memecah belah bangsa. Siapa pun presiden yang terpilih, seharusnya memahami itu. Bahwa keutuhan bangsa ini adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi.

Apakah Anies akan terpilih menjadi presiden? Saya rasa ia akan memiliki peluang yang sama dengan kandidat lainnya. Adalah saya, kamu, kamu, dan kamu yang akan menentukan.

Tapi, siapa pun yang akan terpilih, itulah fakta yang harus diterima. Jangan sampai keutuhan bangsa ini akan tersobek-sobek jika harapan kita tidak sesuai kenyataan.

Jayalah Negeriku, Jayalah Bangsaku

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun