Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia Pernah Miskin, Jangan Pernah Miskin Mental Lagi

12 Juli 2022   05:50 Diperbarui: 12 Juli 2022   05:57 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Pernah Miskin, Jangan Miskin Mental Lagi (gambar: plurk.com)

Masih ingat di masa tiga dekade lalu. Saya adalah seorang mahasiswa internasional di AS.

"Dari Indonesia," demikian seruku.
Seorang bule memandang kepadaku, "where is Indonesia?"

Mau marah juga percuma, jadi kujawab saja, "kamu tahu Bali?"
"Oh, jadi Indonesia adalah bagian dari Bali? Ia bertanya Kembali.

Kenapa saya tidak bisa marah, tertawa, ataupun nyengir. Karena memang di masa itu, Indonesia belum dikenal. Paling tidak itu adalah perasaan saya sebagai mahasiswa internasional.

Hanya bule yang benar-benar serius yang tahu Indonesia di mana. Sementara yang terpelajar belum tentu. Mengapa demikian? Sebabnya yang bertanya di mana Indonesia kepadaku adalah seorang asisten dosen. Nah lho...


Entah apa yang terjadi sekarang di negeri Paman Sam. Apakah para diaspora Indonesia di sana masih mengalami nasib yang sama denganku? Entahlah...

Saya kemudian mereka-reka. Apa yang membuat Indonesia di zaman dulu tidak terlalu dikenal di Amerika. Yang pertama, mungkin karena secara sejarah, Amerika tidak bersinggungan langsung dengan Indonesia. Tidak sama dengan Jepang, Korea, atau Vietnam. Tempat di mana Amerika pernah berkonflik di sana.

Kurangnya promosi. Tidak seperti sekarang ini, di zaman bapakmu, tempat wisata yang dikenal palingan Bali. Mau dipaksa lagi mungkin Borobudur atau Pulau Komodo. Masalahnya, tidak ada embel-embel Indonesia di sana.

Bisa juga karena Indonesia kurang bersinar di kancah internasional. Tidak seperti Hong Kong, Taiwan, atau Singapura yang telah bertransformasi menjadi hub internasional pada masa itu.

Intinya, bagi mahasiswa Indonesia Amerika di masaku, Indonesia kurang dikenal.

Tidak heran jika saya selalu menunggu ada pemberitaan yang baik tentang Indonesia. Membayangkan jika teman-teman buleku akan berkata "hey it's your country."

Tapi apa daya tiga tahun berada di sana, tak satupun berita tentang Indonesia. Baik pada siaran televisi nasional maupun harian lokal. Barulah pada pertengahan 1994, foto presiden Soeharto beserta profil Indonesia muncul di harian Seattle Times.

Kebetulan pada saat itu kota Seattle terpilih menjadi tempat perhelatan APEC (Asia Pacific Economic Conference) yang pertama.

Mau tahu rasanya bagaimana? Roomate-ku datang membawa koran, "Foto Soeharto ada di sini. Lengkap dengan profil negara kita."

Kaum milenial janganlah tertawa dulu. Di zaman bapakmu media yang paling berpengaruh hanyalah televisi dan koran. Internet hanya untuk penggunaan terbatas.

Tidak heran jika pada hari itu, untuk pertama kalinya saya bangga menjadi mahasiswa Indonesia.

Kebahagiaan itu tidak kekal. Anicca kalau istilah Buddhisnya.

Setelah konferensi APEC berlalu, saya kembali bersedih. Nama Indonesia kembali lagi sepi gaung. Saya pun terbawa emosi. Merenung apa yang sebenarnya terjadi, saya lalu berasumsi yang tidak-tidak; Jejangan, Indonesia tidak kaya, makanya tidak ada yang melirik.

Ah, baper...

Tapi memang begitu kok kenyataannya. Menurut keterangan Wapres periode 2014-2019, Jusuf Kalla, Indonesia pernah menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Bahkan lebih miskin dari Somalia. GDP-nya hanya US$85 saja.

Tapi itu sudah lama, sekitar tahun 1960.

Menurut JK, di masa itu hanya 15% penduduk Indonesia yang melek literasi. Lebih dari 60% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

Saya pun mencoba membayangkan, bagaimana sih rasanya menjadi penduduk negara miskin? Karena saya belum lahir pada saat itu, saya pun bertanya kepada papa. "Masa-masa sulit," ungkapnya.

Lalu pada saat aku menjadi mahasiswa, kondisi Indonesia sudah lumayan bagus. Kendati demikian masih kalah dengan negara tetangga. Pada tahun 1990 GDP Indonesia berada di angka 585,08 USD. Sementara Malaysia sudah US$2,441,74. Singapura apalagi. GDP-nya US$11,861,76.

Tiga dekade telah berlalu. Lalu bagaimana sekarang?

Indonesia pernah secara resmi menjadi negara dengan kategori Upper Middle Income. GDP-nya pernah mencapai angka US$4.050. Meskipun pada 1 Juli 2021, peringkat Indonesia turun menjadi Lower Middle Income. Angka PDB Indonesia turun ke US$3.869. Itupun gegara Covid.

Tapi, tidak apalah. Yang penting Indonesia sudah bukan lagi termasuk negara dunia ketiga. Paling tidak, negara kita ini tidak termasuk 25 negara yang paling miskin di 2021.

Lantas bagaimana selanjutnya? Adalah PR kita untuk menjaga kondisi ekonomi negara kita untuk tetap bagus. Kabar baiknya, Korea Selatan pernah selevel dengan Indonesia. Sama-sama miskin.

Tapi dengan transformasi yang mereka lakukan, kini mereka telah berstatus negara kaya. Korsel melakukan tiga hal penting. Pertama adalah perbaikan infrastruktur, kedua adalah pemerataan kesejahteraan, dan yang ketiga adalah peningkatan SDM.

Secara ekonomi, Korsel telah mengubah diri mereka menjadi negara industri. Berfokus pada ekspor, bersaing menjadi salah satu negara pemasok kelas dunia.

Dari sini Indonesia mungkin bisa mengambil contoh. Mengurangi impor dan mendorong industrialisasi. Jangan lupa juga untuk menyokong layanan publik. Seperti kesehatan dan pendidikan. Kalau bisa gratis.  

Namun yang tidak kalah penting adalah nasionalisme. Memang sih, kita tahu jika rakyat Korsel mempunyai musuh bersama, yakni Jepang. Perasaan sakit hati yang telah mereka pendam berabad-abad membuat mereka lebih mencintai produk lokal.

Sementara di Indonesia, bangga rasanya menggunakan produk impor. Made in Amerika, Made in Japan, Made in Korea. Amsiong dah...

Adik saya, Rika masih tinggal di New Jersey. Ia sudah kawin dengan bule Amerika dan memiliki seorang putri. Pekan ini ia datang berkunjung ke Indonesia. Saya lalu bertanya tentang kondisi ketenaran Indonesia di Amerika.

"Banyak yang tahu kok. Jokowi juga dikenal. Salah satu karena ia berkunjung ke Rusia dan Ukraina" Pungkas Rika

"Lalu mereka tahu jika Bali ada di Indonesia," saya kembali bertanya.

"Oh tentu, kan ada perhelatan G-20 di Bali nanti," Rika kembali menjawab sekenanya.

Saya terdiam. Tidak mungkin pikir saya. Pasti masih banyak orang bule yang belum tahu di mana Indonesia.

Kenapa saya berpikir begitu? Kan, Indonesia belum menjadi negara kaya. Kita masih banyak PR. Ekonomi belum membaik, dan masih banyak penduduk miskinnya.

Tetiba saya tersadar... Acek, Acek... Apa yang tejadi dengan dirimu?

Orang dengan pikiran seperti saya ini yang seharusnya dienyahkan. Memandang enteng negaranya sendiri! Sudah seharusnya kita lebih mencintai Indonesia, bangga menjadi warga negara Indonesia, dan setia kepada NKRI. Amsiong dah!

Jayalah Negeriku, Jayalah Bangsaku

**

Referensi: 1 2 3 4

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun