Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hikayat Kristen Kejawen

2 November 2019   14:08 Diperbarui: 3 November 2019   13:32 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dalam pengelanaannya mencari agama yang ideal bagi dirinya juga bukan tidak mudah dan begitu saja. Sejatinya Kiai Tunggul Wulung sendiri adalah seorang manusia kebatinan yang melalui jalan hidup sebagai seorang pertapa. Pada saat pertapaannya di Gunung Kelud, kiai Ibrahim Tunggul Wulung menemukan sepuluh potong kertas hukum allah.  Kiai Ibrahim Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen dengan cara yang tidak diketahui dengan pasti tetapi baik di Ngoro maupun Mojowarno letaknya tidak jauh dari Gunung Kelud dan pada tahun-tahun 1840-an agama Kristen sudah cukup terkenal di kalangan penganut kebatinan..

Berdasar dari seorang kebatinan Jawa; Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memandang bahwa orang Kristen Jawa haruslah tetap Jawa dan tidak perlu menjadi seorang Belanda ataupun menjadi pengikut utusan Injil Eropa. Oleh sebab itu, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menyatakan bahwa lelagon (nyanyian), tata panembah (upacara), cara panganggo (cara berpakaian), nanggap lan nonton wayang (ikut serta dalam pertunjukkan wayang), bahkan rapal dan primbon tidaklah perlu ditinggalkan. Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga menyebut tempat ibadahnya sebagai masjid dan menciptakan rapal baru yang bercorak Kristen.

Metode pekabaran Injil yang dilakukan oleh Kiai Ibrahim Tunggul Wulung adalah melalui jejagongan (cerita-cerita sambil melepas lelah seusai bekerja) sehingga orang-orang Jawa lebih mudah mengerti daripada harus mendengarkan pidato-pidato ataupun ceramah seperti yang dilakukan oleh para penginjil Eropa.

Selain itu, cara lain yang dilakukan oleh Tunggul Wulung adalah melalui debat ngelmu. Metode-metode tersebut kemudian diadopsi oleh Kiai Sadrach yang adalah murid dari Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan bahkan mampu membangun jemaat yang lebih besar daripada yang dilakukan oleh Tunggul Wulung dan menamainya sebagai Golongan Wong Kristen Kang Mardika yang dapat diartikan sebagai kelompok orang-orang Kristen yang bebas.

50gkj-large-5dbd29f7d541df20997ba262.jpg
50gkj-large-5dbd29f7d541df20997ba262.jpg

Sumber gambar: "Kiai Sadrach" historia.id

Kebebasan dalam beragama, mungkin ini yang di idealkan keduannya antara Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kiai Sadrah. Jika Kiai Ibrahim Tunggul Wulung berdasar kebatinan berbeda dengan  Kiai Sadrah yang berdasar dari anak pesantren yang notabnenya muslim kejawen pada saat itu sebelum dirinya di baptis oleh Kiai Ibrahim Tunggul wulung.

Tetapi mengacu pada bagaimana di tahun-tahun tersebut sekitar abad ke-19 dimana diberbagai pokok Serat Wedhatama pemikiran Mangkunegara IV yang bukan saja kritis terhadap moralitas manusia tetapi juga kritis pada agama yang diantut keberagamaannya oleh manusia Jawa sendiri yang justru kebudayaan Jawa cenderung ditinggalkan.

"Jelaslah filsafat Jawa mengendalikan cara berfikir kebudayaan masyarakat Jawa. Di balik kebudayaan ditemukan filsafat. Perbedaan kebudayaan dikembalikan kepada perbedaan filsafat. Karena setiap manusia memiliki filsafat yang berbeda, apalagi kelompok atau masyarakat, tentunya akan berbeda filsafatnya".

Mungkin di abad-abad inilah "abad ke-19" seperti Kiai Ibrahim Tunggul wulung dan Kiai Sadrach bahkan Mangkunegara IV yang peduli akan kebudayaan Jawa bersama dengan filsafat-filsafatnya mengidealkan: "Kita manusia Jawa bebas beragama apapun tetapi perlu diingat kearifan kebudayaan dalam hal ini Jawa dengan berbagai nilai-nilai filsafatnya tetap menjadi sebuah pedoman, dimana saat kebudayaan hilang bersama nilai filosofinya manusia Jawa tidak akan dapat menjadi Jawa lagi karena mereka terlepas dari akarnya kebudayaannya sendiri".

Bersama dengan gelombang besar perkembangan agama seperti Islam dan Kristen yang masuk ke tanah Jawa di abad ke-19 Kiai Ibrahim Tunggul Wulung serta Kiai Sadrach menyebar ajaran Kristus lewat jalan kebudayaan, ngelmu dan kearifan lokal yang justru membuat jemaat Kristen Jawa jauh lebih besar jumlahnya dibanding jemaat Kristen yang dihimpun oleh para penginjil Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun