Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hasrat Memecahkan Dunia Eksistensi

4 Agustus 2019   17:23 Diperbarui: 27 Agustus 2019   13:45 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak terlihat, kini aku sedang berbaring menanggapi awan yang mulai membiru. Saat ini, pagi telah tiba, suara burung-burung disana mulai menyuarakan hatinya yang sedang girang. Ini hari libur, saatnya bersantai sembari berekspresi tentang apa yang bisa aku lakukan.

Udara pagi, mengapa kau tidak membakar tubuhku yang sendiri ini, bukan malah menambah rasa dingin yang harus aku rasakan. Tentang rindu, seperti hanya ada dalam ungkapan-ungkapan imajinasi yang semu, tetapi apalah dasar dari rindu-rindu itu, membayangkan, dan membangun indahnya cinta, oh mungkin ini bentuk romansa menjadi manusia.

Terlihat dan terlihat lagi, ini hanyalah hari kemarin, "kemarin" yang selalu tersisa bagi manusia. Waktu dan kehendak hidup, seperti lamunan yang terkadang menghampiri dan menjadi suatu angan-angan yang ingin tercapai oleh satu manusia termasuk diriku untuk selalu berpikir tentangmu, ya benar, tentang kamu, "imajinasiku".

Tentu libur ini adalah hari Minggu, tetapi apa yang membedakan dari hari lain-lainnya? Kesunyian, bersahabat dengan Buku, Laptop, dan Smart phone. Memang sebagai manusia perlu dipertanyakan, apakah aku tidak bosan dengan hal ini terus-menerus? Tidak inginkah diriku menggendong anak, mengajaknya ia jalan-jalan, bahkan membuat kebun kecil di depan rumah? Siapa yang tidak ingin, hanya saja belum adanya seseorang yang sama-sama mau diajak hidup bersama itu.

Mungkin saja kebosanan pada sesuatu-pun tetap hanya angin lalu, karena kobosanan akan terus datang entah kapanpun waktunya. Musik-musik instrumental, Film-film filosofis dan spiritual, seperti telah menjadi ajang kontempalsi baru bagi manusia digital abad 21 termasuk diriku. Aku memang tidak tahu meditasi yang benar, duduk zikir bersila yang benar, serius aku tidak tahu. Hanya saja aku sadar, apa jadinya hidup tanpa perenungan, aku merenungi hidup dengan caraku sendiri.

Namun yang mulai ter-enyah, bukan saja manusia saat ini harus tahu permukaan, tetapi juga harus paham akan dasar dari semua termasuk dirinya sendiri? Perihal apa yang eksis, atau ber-ada dalam laju hidup ini. Memang tidak untuk berpaling, apa lagi lari dari dunia yang sebenarnya, kesenangan yang harus dikejar, pengetahuan itu pun perlu dijadikan sebuah dasar dari memandang suatu kehidupan, termasuk semseta hidupnya sendiri sebagai manusia.


**

Para manusia bebal itu, aku tidak akan memperdulikannya, sejauh ia hanya mengurusi diri dan kelompoknya saja. Tentang yang hidup di alam strukturalisme, cobalah sejenak berdiri tegak dihadapan para artistik yang berbeda dari dirinya.

Kebenaran yang dipandang sangat subyektif, mengapa engkau manusia "struktural" berhasrat menunjukan bahwa dirimu yang paling benar? Kau yang terlahir dari upaya kaderisasi, tak ubahnya kau saintis yang memaksa orang-orang untuk menjadi pengikut sains yang baik.

Tidak ubahnya, aritistik pun sama, jangan pernah memaksa siapapun untuk satu pemikiran, bahkan satu konsep hidup dengan identitas sebagai manusia. Percuma, itu tidak akan berlaku karena preferensi metode perjalan dalam hidup mendominasi. Biarlah mereka mejadi dirinya yang hanya perlu manusia lainnya sadari.

Tentang para yang kita sebut manusia langit itu, Musa, Zarathustra, bahkan Eyang Semar sekalipun, ajarannya bukanlah untuk seorang manusia menyamai dirinya. Mereka hanya menunjukan, dititik yang sama manusia harus berhenti, mengkosongkan diri, dan harus menjadi cahaya bagi gelapnya kebatinan hidup manusia lain termasuk dirinya sendiri.

Yang tidak pernah bicara sedikitpun, para filsuf-filsuf masyur itu, tidak ubahnya hanya mencari cahaya untuk dirinya sendiri sebagai yang murni, inti, ajang penemuan refleksi dirinya sendiri. Dengan karya sastra, mereka ingin menujukannya pada dunia, bukan lebel akan polularitas, tetapi tentang apa pengetahuan yang ia dapat, dan tentang membagi pengetahuan itu sebagai perjalanan manusia memandang dunia.

Tentang menjadi utopia pikiran, itulah senyata-nyatanya pikiran, tidak dapat terbagi apalagi dibagikan sebagai keyakinan moral pada manusia. Bayangan akan moralitas, bukan ada pada utopia pikiran, melainkan pada rasa yang mendera jiwanya sendiri, antara asas kepatutan, dan ketidak patutan sebagai tindakan manusia hidup di dunia ini "menjadi".

Upaya mencari celah, aku hanya ingin hidup dengan segala suara-suara, seperti Guitar itu, atau suling-suling Bambu yang menggema dari kejahuan. Untuk aku, menemukan diriku dengan sentuhan-sentuhan musik yang menjalar pada mistik. Peri hal suatu karya yang kurang terpahami, biarlah itu menjadi tuntutan zaman seperti Didi Kempot yang kini di nobatkan sebagai Bapak patah hati oleh mereka-mereka yang tersakiti cintanya sendiri sekalipun itu generasi Z ataupun Milenial.

Membingungkan, suatu bahasa dan suatu karya, tentang peradaban kini, ketika secara tekstual dapat diterjemahkan, pada saatnya, karya itu menjadi karya yang monumental. Para tukang "gemuruh" itu, batinnya masih mandeg pada alam gosip, dan alam-alam pengikut yang riang, ketika yang diikuti tersebut menjadi terwujud sesuai apa yang ada di dalam konsep pikirannya.

Tentang ungkapan untuk seseorang lagi kini, "jangap pernah engkau merasa akan membentuk orang lain, ketika orang lain itu ingin bebas dari penderitaannya, dengan tidak mengikuti apa kata-kata orang lain kecuali dirinya sendiri, kemudian engkau mau berbicara apa? Berbagai konflik kepentinganmu, kejarlah dan kejarlah sendiri yanv menurutmu sebagai terbaik itu".

Aku memang sudah tidak silau dengan kedudukan, tentang Jendral-jendral perusahaan yang kini menjadi fenomena baru politik dunia, aku lebih baik menjadi diriku yang bebas, sesekali menjadi aku yang berkuasa atas diriku sendiri. Sistem dalam mekanisasi memang melelahkan, bukan aku takut menghadapi realitanya dunia, tetapi aku sudah cukup dengan dunia. Asal ada hasil sedikit untuk bertahan hidup, sudahlah, sisanya jika ada yang ingin hidup bersama denganku, kita cari dunia bersama.

***

Melepas dan terikat merupakan satu dari banyak yang harus aku rasakan dalam hidup ini. Namun yang terlalu kaku, mencoba biasa saja, kerja inginnya kerja saja, tanpa upaya untuk naik tahta, dan biarkan aku menaiki tahta dengan apa yang aku suka, bukan tentang nama besar yang ada di lingkungan kecil, kehendak kuasa, enyahlah, telan sebagaimana engaku ingin menelannya sendiri.

Tentang cinta dan keluarga yang harus di hidupi di masa kelak nanti, apakah aku harus menjadi Jendral penjaga gawang modal dan industri yang tidak ada habisnya? Cerita para pekerja "buruh" kasar disana, ia frustasi dengan apa yang sedang dilakukannya, tanpa modal sendiri, ia tetap menjadi tersisih, gajihnya yang dihitung harian, ia menjadi pengelana, habis hanya menyisakan sedikit untuk dirumah untuk kebutuhan anak-istrinya.

Setenang-tenangnya hidup memang punya sendiri, tentang ideologi-ideolgi politik disana akan nama "berdikari", merupakan keinginan luhur manusia, tetapi sistem yang berbicara, akankah ia akan melawan pada akhirnya? Diam dan menjadi tenang dengan usahanya sendiri, buruh harian itupun mulai frustasi, ingin menjadi petani dan mengarap lahannya sendiri, tidak ikut kerja sebagai buruh harian lagi, dimana hasil yang sama-sama tidak pasti.

Tetapi bagaimanapun, modal dan abad 21 ini, merupakan hal yang sangat krusial bagi manusia. Tidak peduli berlatar belakang orang punya atau tidak punya, manusia saat ini dapat punya apapun ketika memang ia mempunyai modal untuk membeli apapun.

Tidak memungkiri kemudahan akses yang di tawarkan oleh sistem kapitalisme, tetapi akses modal sendiri setidaknya hadir dari modal-modal juga pada akhirnya. Namun seberapapun aliran modal dari kerja manusia, bila memang mereka "manusia" berhati-hati dan efektif dalam memperankan modalnya, dalam hal ini, saya sebut sebagai dasar dari adilnya sistem kapitalisme dan manusia. Meskipun tanpa upaya cerdik dalam pengaturan modal, miskin secara struktural akan terus berlangsung, bahkan akan membudaya pada akhirnya.

Abad 21, bukan lagi abad tanpa kesempatan, banyak kesempatan yang hadir bila manusia menangkap betul fenomena Revolusi Industri saat ini yang sedang terjadi di Indonesia. Revolusi berarti sendi-sendi tata masyarakat baru, maka dari itu, mengenal dari dasar kebaruan itu seperti telah mendapat suatu pencerahan sebagai manusia di dalam suatu sistem.

Bergeraknya ekonomi, sektor-sektor yang sebelumnya belum terjamah, kini mulai menapampakan sebagai aktivitas ekonomi itu sendiri. Dengan modal yang lumayan manusia punya, sektor bisnis, birokrasi dan lain sebagainya di luar dari pertanian, kini di akses oleh mereka yang mampu menyekolahkan tinggi anak-anaknya, seperti fenomena yang terjadi di suatu desa, berbodong-bondong menyekolahkan anak untuk menjadi pegawai pada akhirnya.

Anak-anak dari tuan tanah di desa kini menjadi bisnismen diluar pertanian, birokrat-birokat pemerintahan, bahkan mengisi pos kemamanan baik Polisi, maupun Angkatan perang negara. Disanalah dasar dari hidup harus dengan modal itu terhimpun dengan baik, tentang buruh tani yang dapat naik kelas dengan modal juga pada akhirnya.

Banyak di desa kini Buruh-buruh telah menjadi petani-petani kecil, dimana mereka mampu membeli dengan modal akan lahan yang harus mereka garap. Menjalarnya ekonomi sendiri, para tuan tanah desa enggan menggarap sawahnya, lalu sawah tersebut dikontrakan atau digadaikan kepada Buruh-buruh tani. Suka atau tidak, modal seperti menjadi penyelamat baru, meskipun terkadang kurang berimbang dengan harga yang sama sekali tidak rasional dengan resiko. Namun inilah sistem dari kapitalisme dan keberuntungan sebagai manusia itu dalan ekonomi.

****

Bukankah ini keadilan itu, apa yang terjadi di desa ketika tuan tanah mengarap sendiri-sendiri lahannya? Bukankah buruh tani tidak akan dapat naik kelas? Walaupun naik kelasnya tersebut harus dengan modal yang mereka kuluarkan? Ini tentang sistem, ini tentang keadilan dari "kapitalisme", namun apapun ideologi itu, instrumen-instrumen dasarnya terlebih dahulu yang harus dipahami manusia, tentu "modal".

"Petani menanam untuk mencukupi makan keluarganya, barulah menjual surplus atau kelebihannya ke pasar. Tetapi masyarakat "Marhenis" tetap Marhen, yang tidak dapat lepas dari sistem "kapitalis". Surplus yang di dapat, untuk mengontrak tanah atau meng-gade tanah kembali, ditanami sendiri memenuhi kebutuhan keluarga". Apapun itu, semua ideologi memang utopis, yang terjadi kini "abad 21" tidak peduli manusia itu tidak punya, yang penting mereka "manusia" masih bisa membeli dengan uang "modal" yang mereka punya.

Dan sekali lagi, lentur pada sistem merupakan keselamatan bagi hidup manusia itu sendiri. Manusia tidak dapat melawan sesuatu apapun, terkeculai ia melawan atau bertarung dengan sistem itu didalamnya. Seperti ungkapan "Liberal" tanpa batas yang harus manusia sandang dalam memandang zaman, sistem apapun, ia tidak akan membatasi diri dengan ideologinya sendiri.

Terlibat dan ikut bukan suatu pengecualian, abad 21 merupakan manusia dengan hamba-hamba modal di dalamnya.

Mengerti dan diam bukan berarti patuh, diam pula tidak dapat di katakan bahwa ia bodah, tetapi dalam diam selalu ada alasan sebagai dasar pemikiran, mengapa alasan berdiam diri pada manusia? Tentu saja jawabannya adalah mengamati. Pada dasarnya setiap manusia merupakan pengamat yang baik.

Aku secara tidak langsung pun terlibat dalam pengamatan itu, keperibadian manusia dalam sosial masyarakat industri maju kini bukan lagi tentang ekstrovert atau introvert sebagai makhluk sosial. Memang untuk secara individual, boleh dikatakan seperti itu, dan dapat dipertangung jawabkan sebagai pilihan individu.

Tetapi ketika di dalam masyarakat industri maju sendiri, semua orang dituntut untuk berbaur dan mencapai tujuan bersama dengan perolehan profit juga untuk bersama, apakah kepribadian tidak akan terus diubah sebagai individu mengikuti konteks suatu keadaan masyarakat? Tidak, semua manusia adalah modal di dalamnya, bahkan alam, binatang sekalipun adalah komunitas yang mendatangkan modal.

Semesta wacana politik sekalipun, baik politik kenegaraan atau politik perusahaan, ketika mereka dihadapkan pada kepentingan modal, mereka akan bertekuk lutut bahkan dengan lawan politiknya sendiri untuk menyelamatkan diri berserta kolompoknya. Ini merupakan sesuatu yang biasa, dunia dan transaksional sebagai jalannya. Oleh karena itu aku pun sebagai manusia hanya berhasrat memecahkan cara bagaimana selamat dalam memandang zaman dunia eksistensial mutakhir, tidak lebih dari itu!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun