Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia, Pengetahuan dan Kehidupan

14 Mei 2019   23:31 Diperbarui: 31 Mei 2019   22:31 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selayaknya penelitian ilmiah memang harus dikaji. Saya tidak tertarik terhadap suatu dongeng atau, kata-kata manis yang dipuitisasi oleh suatu pengertian dangkal. Proses panjang dari alam semesta dijabarkan oleh para ilmuwan dan ahli metafisika. Tetapi, itu bukanlah suatu kebenaran tunggal yang harus dipercayai. Masih banyak alternative pengetahuan lain yang masih belum terungkap.

Untuk mempelajari makro kosmos dan mikro kosmos sendiri, menurut saya perlu mengenal psikoanalisis, dan psikospiritual. Bagi saya, semua ini merupakan sesuatu yang berwujud dibaliknya ada sesuatu yang tidak terwujud. Dunia sendiri adalah dua entitas yang berbeda tetapi menyatu dalam relasinya. Seperti halnya adanya makhluk laki-laki dan perempuan yang bekerja sama melestarikan proses kehidupan. Proses yang panjang sendiri dari kehidupan sudah dijawab oleh ilmuwan, walaupun itu hanya hipotesis, dan mengundang banyak sekali perdebatan

Sebagai  manusia untuk itu, rasa ingin tahu akan mekanisme adanya manusia hadir setiap waktu dalam, semesta bayangan dari pemikiran-pemikiran ini. Bagaimana awal manusia itu ada? Mengapa ia ada? Tetapi mengapa saya belum puas akan jawaban dogma-dogma yang ada? Terkadang saya merasa, karena banyaknya versi yang mecoba menjelaskan akan pertanyaan ini, menjadi keragauan itu sendiri bahwa; jangan-jangan kebenaran ada pada persepsi kita sendiri? Ah, iya mungkinkah? Nyatanya semua ingin dibenarkan oleh pendapatnya sendiri-sendiri.

Manusia adalah makluk pencari suatu kebenaran tetapi, pada kenyataanya manusia tidak pernah menemukan kebenaran yang mutlak atau diakui semua orang. Kebenaran dalam versinya  menurut satu manusia adalah pertentangan bagi orang lain dan itu sudah biasa terjadi. Saya adalah seorang pencari, saya tahu, tidak ada lagi tempat selain diri sendiri untuk bersandar, karena simpang siurnya orang banyak berpendapat secara berbeda-beda.

Pandangan spiritualisme dalam pengertian saya menjelasakan mengenai evolusi roh, materialisme mengenai evolusi fisik, dari fenomena seleksi alam. Penelitian materialisme sendiri dikembangkan oleh Charles Darwin ilmuwan asal Inggris. Spiritualis berdasarkan pada wahyu-wahyu yang katanya, "dari Tuhan". Tetapi dalam eksistensi saya sendiri menyadari, keduanya tidak bisa dibuktikan secara nyata saat ini di hidup saya, terkecuali dengan suatu anggapan yang diadakan agaman itu. Tentu saya mengira, apapun adalah  suatu konsep atau bentukan manusia dalam menafsirkan sesuatu yang melampaui.

Antara materialisme dan spiritualisme merupakan sesuatu pandangan yang saling mendukung dan berjalan selaras. Oleh karena itu, mereka "keduanya" tidak perlu di perdebatkan sampai dengan siapa yang paling benar. Mereka antara "materialisme dan spirituliasme" sama halnya manusia, yang mencari tetapi mentok pada pemikirannya sendiri. Bukan tidak mampu memikirkan, tetapi untuk apa berpikir terlalu jauh? Jika manusia menjalani hidupnya ingin serba tahu, apakah mungkin tidak ada salahnya juga karena ingin tahu adalah mentalitas seniman "dalam hal ini manusia"? Tentu para filsuf disana adalah seorang seniman; seniman yang berseni dengan berpikir.

Proses panjang kehidupan tidak lepas dari seleksi alam, dan evolusi roh itu lah, kata seni dari berpikir para filsuf. Manusia berpikir karena harus berjalan selaras dengan seleksi alam, supaya bisa mempertahankan eksistensi dirinya sendiri bersama dengan fluktuasinya kondisi alam. Aktifitas berpikirlah awal mula rasa manusia ingin memiliki dan rasa ingin berkuasa atas nama diri dan berbagai kepentingan-kepentingannya. Mungkin sudah kodrat alamiah bahwa insting berpikir adalah senjata untuk menjalani kehidupan itu sendiri.

Hukum alam menuntut makhluk untuk berkembang biak supaya; tetap ada regenerasi untuk proses sebagai kesatuan dengan alam semesta. Menurut saya inilah sebab keadaan manusia tidak bisa lepas dan terus bergantung  keadaan alam. Berkembang biak dan rasa saling memiliki berjalan beriringan untuk menciptakan suatu keturunan. Mungkin disinilah asmara dimulai sebagai bibit berlanjutnya kehidupan. Atas pemikiran-pemikiran dan penemuan yang sudah ada ini, saya bisa mendapat jawabanakan pertanyaan yang menggalaukan setidaknya untuk diri saya sendiri.

Saya tidak percaya lagi terhadap cinta, jodoh dan belahan jiwa, karena keterkaitan saling memiliki bermuara dari pikiran dan hasrat bawaan sebagai makhluk itu sendiri. Bahwa; di dalam diri setiap manusia sudah mempunyai insting melestarikan spesiesnya. Tanpa embel-embel jodoh, cinta dan sebagainya, kehendak untuk berkembang biak sudah merepresentasikan itu. Penamaan cinta dan lain sebagainya hanya menjadi romatisme penama-an yang asalnya tanpa nama sebagai hasrat kehendak alam yang tidak dapat dilepaskan,"setiap makhluk berinsting melestarikan dirinya sendiri".

Evolusi Roh-lah kehidupan yang menyimpan dipikiran dibawah sadar dan supra sadar manusia. Adanya rasa ketertarikan sesama makhluk hidup menurut saya murni karena pengalaman kehidupan masa lalu yang transenden seperti, mengapa kehendak untuk berkembang biak itu ada? 

Mengapa saya percaya kehidupan masa lalu sebagai bangunan kehidupan dan makhluk di dalamnya? Jika eksistensi sang pencipta atau "tuhan" ada, bukakah semua orang percaya bahwa suatu; energi berasal dari energi itu sendiri? 

Dalam hal ini jika manusia dan spesies lain mati kemudian melahirkan kembali, bukakah semua tetap pada ruang dan waktu yang sama sebagai anak kehidupan itu sendiri? Jika; "tetap ada penciptaan dan peleburan itu"? Mungkin kalian ini, "makhluk hidup" berada di kehidupan masa lalu, saat ini dan masa depan.

Untuk itu dalam mengatasi kelainan dari waktu atau perbedaan manusia, "sebagai makluk hidup" yang di alami masa modern, seperti kelainan, sikap terhadap alam, sesama manusia, terhadap hewan, maupun terhadap kehidupannya sendiri, manusia harus hanya dengan menghilangkan waktu. Orang yang paham cenderung memberi tahu cara menyelsaikan masalah itu semua dengan kembali kepada kehidupan yang di jalani pada masa lalu, saat ini, masa depan, bukankah ini dapat menjadi pendapat yang rancu?

Saya berpikir demi masa (waktu) yaitu demi suatu keadaan, tentang bagaimana reaksi manusia terhadap kehidupanya. Masa lalu adalah jawaban yang realistis tetapi karena kesombongan manusia berpikir jauh kedepan adalah suatu solusi, padahal realitasnya adalah saat ini.

Pandangan saya, jika manusia hanya berpikir kedepan, dia hanya memandang dan mengundang suatu masalah. Bukankah jika kita berpikir kedepan harus menyelsaikan sebuah masalah? berpikir tentang masa depan adalah suatu masalah. Masa depan tidak pernah ada karena itu hanya orang bermasalah yang memikirkan tentang masa depan. Begitupun dengan manusia yang berpikir masa lalu, masa lalu sudah berlalu dan hilang. Menjadi kontradiksi sendiri jika kita berpikir saat ini, mengapa kontradiksi? Karena kita masih terbayang antara masa lalu dan masa depan.

"Demi masa mengajarkan manusia bereaksi terhadap kehidupanya bukan melampaui waktu hidupnya. Sepertinya setiap diri manusia hanyalah wujud pengalamannya semata untuk menghilangkan anggapan waktu hidup manusia itu sendiri"

Namun Pengikut selalu memperpusing dirinya sendiri. Ketika ada yang berbeda dirinya seakan mempermasalahkan yang beda dari darinya itu. Padahal jika mau melihat lebih dalam, tidak ada yang berbeda dari kita. Semua menuju yang satu dan akan menjadi satu pada akhirnya, kembali menjadi enrgi sebagai daya hidup.

Menjadi manusia pengikut pada dasarnya hanyalah pertimbangan dari kelemahan akal budinya saja. Ketika ia menimbang, budinya terkadang menipu, mana yang menurutnya baik, akan di ikutinya. Padahal apa yang diterimanya belum tentu menjadikannya bijaksana sebagai manusia yang mempunyai bakat dalam setiap hidup sebagai seniman pemikiran.

Saya tidak peduli seseorang itu theis atau atheis, taat atau tidak pada apa ajarkannya secara turun temurun dan membudaya. Semua akan sama ketika menyentuh setiap dimensi batinnya (spiritualisme). Di dalam diri manusia ada rasa, "disitulah bersemayamnya kasih, kebijaksanaan dan sifat-sifat kebaikan dari yang ilahi". Berada pada dimensi batin tidak perlu kamu harus teis atau ateis. Setiap manusia mempunyai unsur keilahiannya sendiri-sendiri tergantung bagaimana diri manusia mengaksesnya.

Oleh sebab itu, makluk hidup sejatinya tidak ada yang tidak bertuhan. Semua bertuhan karena setiap makluk sejatinya adalah keilahian. Kebaikan dan keburukan tidaklah untuk dihakimi tetapi untuk disadari dan dipelajari. Bagaimanakah kita sejatinya harus tetap menjalani hidup ini? Apa yang perlu kita perbaikai dalam hidup ini? Dan apakah yang harus kita lakukan sebagai makluk keilahian yang sedang menjadi manusia?

Jadi biarlah mereka dan kita menjadi versi terbaik bagi diri kita sendiri. Tidak peduli suku, agama atau ras mereka maupun kita. Hidup membawa budaya kita masing-masing, tradisi juga masing-masing.Yang perlu kita sadari sebagai manusia adalah "jangan pernah tidak percaya pada kebaikan keilahian yang sudah ada pada diri dan setiap makluk hidup". Setiap dari kita punya sifat dasar kebaikan ilahinya sendiri tergantung kapasitas diri kita menyentuhnya.

Mulailah dari sekarang dan berhentilah menghakimi. Hidup adalah pembelajaran bagi masing-masing insan. Jadi dalam hal ini konteksasi hijarah sebagai universalisme bagi pembelajaran insane sangat lah penting. Apa sebenarnya makna dari hijrah sesungguhnya? Saya menganggap bahwa hijarah adalah suatu keinginan perwujudan untuk bagaimana merubah keadaan mencapai hal yang sinkron. Hijrah tidak selalu untuk keadaan yang lebih baik ataupun lebih buruk, keadaan apapun ketika manusia ingin merubahnya adalah suatu hijrah itu sendiri.

Baik atau buruk suatu keadaan merupakan pilihan diri sendiri. Ketika manusia memilih untuk baik, keadaanya mungkin akan menjadi baik. Namun keburukan akan keadaan bukanlah hal yang salah, bukakah keburukan ada untuk mengimbangi kebaikan? Jika semua baik, apakah kita tetap akan merasa hidup di dalamnya? Makna dari keadaan keburukan yaitu suatu pengujian, supaya tahu bagaimana caranya untuk mampu melampaui keadaan buruk itu sendiri sebagai manusia pembelajar.

Keadaan baik dan buruk bagi saya merupakan makna interpretasi yang jelas ambigu. Terkadang kata "sepakat" untuk menilai bahwa keadaan itu baik atau buruk, sulit untuk di dapatkan bagi kehidupan yang jumawa ingin kebenaran bersifat tunggal. Jika subyektifitas dalam penilaiaan keadaan baik dan buruk itu hal yang mutlak untuk dilakukan manusia sebagai pembenarannya? Sayapun berasumsi bahwa; yang bisa menilai baik dan buruk suatu keadaan adalah ada pada subyeknya itu sendiri.

Konteksasi suatu keadaanpun tidak dapat diseragamkan karena konteks menyangkut subyektifitas pemikiran individu. Suatu hal yang lumrah ketika pendapat individu bebarengan dengan konteksnya. Masalah individu sebanrnya hanyalah sesederhana setiap proposisi yang ada. 

Ketika meraka berpendapat bahwa; suatu keadaan individu lain sudah baik ketika dia tidak diposisi yang sama, mereka hanyalah berbicara kualitas imajinernya saja. Rasio mereka hanya menimbang bukan merasa dengan seksama. Mencapai rasa seksama keadaan yaitu mereka yang telah melampau baik- buruknya keadaannya sendiri.

Maka dari itu tidak semua keadaan yang menurut merka baik, belum tentu sinkron dengan diri kita sendiri yang mungkin,"dianggap mereka buruk. Melakukan suatau hijrah bukan karena keadaan yang sebelumya buruk. 

Namun melakukan sebuah hijrah di karnakan lingkungan sebelumnya tidak mendukung untuk, "manusia itu berkembang sesuai dengan dirinya panggilan jiwanya sendiri". Saya berpendapat sampai kapan pun, manusia akan mencari tempat diamana dia nyaman akan segala bentuk kehidupan eksistensial yang ada. Dalam hal ini kata "hijrah" merupakan konteksasi diri yang sesungguhnya untuk hidup belajar menjadi dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun