Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Rindu Kembali Menulis Karya Sastra

28 April 2019   21:48 Diperbarui: 28 April 2019   22:11 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karna itu sebagai pembaca dan penulis harus sama-sama sadar akan kapasitas sebagai penulis dan sadar berkapasitas sebagai pembaca. Sebagai penulis sempurna atau tidak sempurna, tulisan itu haruslah disajikan sebagaimana ia menyajikan hidup untuk dirinya sendiri. Pembaca tetaplah harus menikmati walaupun, "penyajian kepenulisannya tidak sesuai apa yang diharapkan pembaca".

Menurut saya sah saja ketika kita mau menulis gagasan kita, benar atau tidak benar, biarlah pembaca yang menilai, satu yang penting "ide berpikir tidak dapat akan dibendung". Tetapi yang harus diperhatikan pembaca "jadilah pembaca yang baik". Jangan jadi pembaca yang gemar mengintimidasi suatu tulisan yang tidak sepaham dengan pembaca itu sendiri. Biarkanlah tulisan disajikan bagaimana semestinya untuk pemahaman kita, tentang manfaat negatif dan positifnya sebuah tulisan? Perlu dipungut dan tidak perlu dibuang sangat dianjurkan. 

Bagi saya tulisan dapat juga diartikan sebagai cerminan nyata alam pemikiran manusia yang tidak terbatas ruang dan waktu. Yang  sedikit banyaknya mencerahkan hal-hal yang sebelumnya tidak cerah bila tidak ditulis secara gamblang.

Seorang penulis seyoganya bebas untuk menulis apapun yang ingin penulis tulis. Seharusnya juga tidak ada yang bisa menghakimi penulis termasuk pembaca. Jika pembaca ingin mengkritik penulis, jadilah juga penulis untuk mengkritik tulisan-tulisan lainnya. Cara mengkritik harus sama, melalui karya tulisan, "bukan menjadi pengkritik arogan tanpa karya". Banyak terjadi pada abad 21 ini, manusia miskin karya, tetapi hobinya mengkritik karya orang lain.

Seharusnya di dalam suatu negri yang bebas ini, berekspresi tidak dibatasi. Raut wajah semua orang berseni menunjukan kebahagiaan, tetapi kebahagiaannya ternoda oleh geraknya yang sebenarnya terbatas oleh orang-orang yang mencoba ingin mempingirkan seni. Disini banyak orang sadar nilai tukar, tetapi di negri yang bebas ini mereka menukarkan sarana untuk sama-sama berekspresi. Namun cara mereka mencari nilai "menentukan kualitas mereka berekspresi" menjadi perusak ekspresi atau pembangun ekspresi itu sendiri.

Tetapi negri yang bebas cenderung mempunyai corak yang sama. Mereka umumnya ingin hidup sebebas mungkin dan senyaman mungkin melakukan ekspresi. Batas hidup mereka hanyalah nilainya semata, dimana nilai ditentukan hasil dari mereka berseni "bekerja".


Banyak orang jenius lahir di negri yang bebas, juga dengan orang-orang suci bisa terlahir disini. Tetapi negri bebas didominasi oleh orang-orang yang hidupnya standar. Mereka krisis ide, krisis kedirian dan krisis bakat. Mungkin negri bebas pandai memunafiki dirinya, "indah namun penuh kepalsuan", "galmor tetapi penuh kesengsaraan".

Di negri yang katanya bebas ini semakin sangat sulit menemukan manusia mempunyai visi sebagai negri yang bebas ini. Jangankan memikirkan kembali cara hidupnya sendiri, merenung sejenak dalam kesedirian, merekapun tidak mau dan tidak akan mau. Hidup mereka teratur oleh trend, bahkan merka hanya hidup dengan kata hari dan jam, di mana mereka harus melakukan ritual-ritual dengan sedikit ketakutan pada hal yang transendental. Galau dan terasing begitulah hari-hari di suasana negri bebas ini.

Terkadang di lain waktu, mereka berpegangan pada apapun untuk mengusir kegalauannya itu. Mereka berlari, berjalan dan merangkak tetapi tidak tahu arahnya. Mereka "hari ini dapat bersuka cita" tetapi besok, "kembali meratapi kesedihanya lagi dengan penyesalan tindakannya".

Mau tak mau mereka harus tetap menjalani meskipun, "hidup tetapi mati terkubur perasaannya sendiri". Mungkin masih lebih baik "bebas" tidak kekurangan ekspresi dari pada "hidup tertekan minim ekspresi". Selama kebahagiaan masih bisa dicari, kesedihanpun akan perlahan menghampiri. Berusaha lagi, mencari lagi dan mewujudkan lagi dalam semesta berpikir untuk tetap berseni. Di negri yang bebas ini hanya ada "kerja, kerja, kerja, sedih, sedih, sedih, lalu bahagia, bahagia, bahagia" setiap hari seperti itu.

Kemudian penyesalan datang ketika, "nilai untuk membayar bahagia habis sekejap saja dilalap ego besar sang pencari nikmat di negri yang bebas ini". Dalihnya adalah tenaganya tiada hasilnya, dan tidak pernah tahu entah kemana, padahal "ia menyembuhkan diri dengan hasil kerjanya" mereka sadar ketika hasil itu telah habis menutupi kebutuhan senangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun