Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Analogi Lajang dan Golput

13 April 2019   17:07 Diperbarui: 13 April 2019   17:23 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari geotimes.co.id/ oligarki dibalik paslon capres

Atas dasar dua pilihan dan hanya satu yang terpilih, oleh karena itu sebagai pemilih kita akan merasa kecewa nantinya. Jika anda tidak ingin kecewa, jangan pernah anda memilih. hidup merdeka sebagai Lajang eh,salah, Golput !

Iibarat cinta yang bersemi di antara kita kini. Ah, rasanya bukan hanya dia, mereka juga sedang terbuai oleh cintanya sendiri. Aku cinta dia, aku rindu dia, aku akan menumpahkan segala tumpah darah ruah-ruah, yakin? Bukan ekting? Seperti halnya mengudang cinta, pandai-pandailah merias diri menjadi harapan, asli ya, bukan palsu!

Aku-pun ingin bertanya, akankah cintamu berujung bahagia atau berujung kecewa? Bagiku engkau dan mereka sangat mudah untuk ditebak, jika tidak bahagia ya kecewa. Dalam cinta bahasa Jawa Timuran "wani perih". Ngomong-ngomong perih yang bagaimana? Guling-guling memakai baliho berharap pilihannya jadi gitu? Yang bener aja? Cinta-pun harus pakai logika, walaupun kata Agnes Monica, gak pakai logika sih, terserah wis!

Begitupun dengan ketika sudah jadi, bahagia dan kecewa adalah mungkin akan kau rasakan. Bila harapan yang engkau harapan tidak menjadi kenyatan. Namun ketika cinta sudah buta, tai kucing-pun rasa coklat "kata pujangga patah hati". Apa lagi kata manis dari team sukses, serasa penerang jalan menuju surganya cinta, padahal ia hanya berdusta, yang penting cinta harus bersuara, nomer satau atau dua, padahal dua-duanya sama saja.

"Cinta-cinta, paling enak emang lajang, "tanpa cinta" hidup sendiri-pun jadi". Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga, itu hanya kata pujangga sedang jatuh cinta. Nyatanya pohon bunganya masih ada, hanya saja bunganya menyusul nanti, tapi mana belum datang-datang? Mungkin masih menunggu uang bensin dan jatah nasi kotak disana.

Kalau pujangga team sukses politik " Hidup tanpa, Presiden bersih "anti korupsi", tegas, berwibawa, rakyat akan merana". ya, kalau cinta sama calon Presidenya sih, iya, iya aja, ngangguk! Tapi bagi yang sadar, pujangga politik hanyalah "sales" suara. Tetep rakyat, merana atau tidaknya ya, atas tindakan dan usaha sendiri. Seles politik itu "sales" kaleng-kaleng, hasilnya juga kaleng, nggak ngefek bagi rakyat, selsai pemungutan suara ditinggal, ah cinta musiman, cinta politik?

Terpenting ketika kau sudah cinta, jangan pernah kecewa. Ketika kecewa nanti bisa kau mebanting-banting gelas atau piring di dalam rumahmu sendiri. Tentu jika terjadi kau yang akan rugi sendiri. Tidak akan itu diganti oleh team sukses politik barangmu yang rusak itu. Jika kalah diam dan lihatlah sambil menagis saja layaknya pemuda patah hati. Asyik, pernah patah hati tah? Biasa keles! Tagihlah janji ketika ia menang, bila kau tidak mau di PHP-kan, tapi cinta mah, PHP tetep cinta terus. Aduh, Situ waras? Pemberi harapan palsu loh itu artinya PHP? Nanti pacarannya sama siapa, di pelaminannya sama siapa? Nyesek gak tuh?

Tetapi ini sangat menjengkelkan bagiku, mungkin juga bagimu, dengan kadar kewarasan yang tinggi menjadi merdeka alias lajang alias golput juga. Pokoknya gelar kita alias,titik! Lebih baik aku membangun cinta dengan gadis yang rumahnya dipojok sana, anaknya siapa ya? Cantik, itu akan jelas! Kalau saja dia mau, akan aku bawa dia dalam pelaminan masa depanku. Cihuy!

Cinta pada gadis bagi lelaki adalah senyata-nyatanya cinta. Wuasik, "Khalil Gibran kalah ini sama saya, jika sudah mendongeng cinta". Ia dapat membangun rumah tangga, dapat pula menerima langsung untungnya punya keluarga, disayang dan disanjung Anak-Istrinya. "Harta yang paling berharga adalah keluarga" Hutan Cemara, eh, Keluarga Cemara.

Bagaimana dengan cinta politik? Au ah, Gelap! Apalagi cinta "Presiden", puyeng! Jelas, tidak mungkin engkau akan di kenang sepanjang hayat, bahkan ketika fotonya masih dipajang di sekolahanmu itu selama lima tahun. Sekalipun dia kau coblos, berserta nama dan fotonya, dicium juga deh kertas suaranya juga. Apakah dia akan memperhatikanmu seperti Istri dan Anak kita nanti? Patut dipertanyakan? Ya tanya lagi pada dirimu sendiri.

Tetapi asal cinta mah "bebas" ini bukan jamannya Siti Nurbaya/Orde Baru yang mengekang untuk coblos warna kuning. Pernah ayahku cerita dulu, dapat intimidasi ketika pemilu, verbal sih, ia ditegur, gak cobolos kuning ya, tegur "panitia"? Ya jawab ayahku, pemilu kan bebas memilih, sak senengnya apa? Nah, aku-pun seperti ayahku, sak senengmu! Nek aku pengin "merdeka", wis bebas indoktrinasi politik pokok'e, keren kan bahasaku?

"Yang penting jangan tonjok-tonjokan, apa lagi saling bunuh-bunuhan, jangan! Tunjukan kita adalah masyarakat yang beradab"

Menit akhir bersuara golput

Jelang menit-menit akhir pemilihan presiden bukan hanya menimbulkan dilema baru. Tidak mempunyai efek bagi suara saya, dukungan kepada setiap calon di menit akhir, oleh siapapun, termasuk tokoh publik berpengaruh, pada masanya tapi. Biasanya dalam politik tokoh mudah muncul dan mudah tenggelam di ufuk barat.

Terbaru dukungan oleh beberapa tokoh, katakan tentang dukungan Andji "penyanyi" lewat video yang viral itu mendukung Joko Widodo, atau Ustad Abdul Somad dan Dahlan Iskan yang sudah merapat ke kubu Prabowo Subianto melaui berbagai berita Televisi dan media cetak nasional.

Tentu, mengapa saya memilih golput atau tidak memilih? Maaf, Ini karena saya kurang begitu tertarik dengan, bukan kedua calon, "aslinya ia, hanya gak mau jujur" tetapi kepada jalannya negara jika penyelenggaraannnya tetap orang-orang yang sama dan dilakukan dengan sistem yang sama pula.

Saya tidak yakin korupsi itu hilang, saya juga tidak percaya mereka membayar hutang negara. Dalam sejarah pemerintahan negara tentu salah satunya adalah hutang. Setidaknya ini yang dilakukan lembaga per-bank-kan dunia agar setiap negara terlilit hutang, supaya mereka dapat mengambil bunga untuk keuntungan kapital dari setiap Negara penghutang.

Saya mengira, bukan, memang bukan demokrasi penyebabnya. Mungkin pemilihan umum penyebabnya, saya menjadi golput? Bukan juga! Demokrasi dan pemilu tidak pernah salah, yang salah adalah orang yang memanfaatkan itu tanpa bertanggung jawab jika tatanan umum masyarakat rusak. Teman saling bermusuhan, keluarga saling tidak menyapa dan tetangga saling torak-tarik suara.

Terus terang saya golput bukan karena tren yang sedang menerjang para intelektual sekuler kini. Saya memang setuju dengan pemerintahan sekuler, karena ketika sekulerisasi berjalan, tidak ada identitas yang melekat pada politik jalannya pemerintahan.

Inilah mengapa saya setuju dengan ide sekulerisme, supaya warga negara bebas menetukan moralitasnya, agamanya dan setiap ideologi-ideologinya. Asal upaya hukum negara kuat, apapun ide-ide kenegaraan itu, saya kira tidak masalah.

Sebaliknya jika "Negara" sistem hukumnya tidak kuat, mau ide Negara paling religius-pun tetap, ia tidak pernah adil dalam menjadi payung bersama bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia.

Jadi begini, saya golput tidak lebih karena peranan indentitas yang dominan pada pilpres kali ini. Bukankah bebas dalam pemilu mau melekatkan pada apapun baik identitas maupun golongan ormas? Bebas memang, tetapi, pasca pemilu, masyarakat akan terbelah lagi. Saya hanya tidak ingin menjadi ambil bagian saja dalam pemilu kali ini, agar menjadi manusia bebas dari politik.

Pilpres 2014 lalu juga secara tidak sadar sudah membelah masyarakat, dimana volume identitas tidak se-dominan pilpres kali ini. Saya menilai golput dan tidak memihak sebagai solusi, bebas dari nyinyir politik, bebas dari identitas yang dilekatkan, intinya, malas jika karya tulis saya dilebeli sebagai Cebong maupun Kampret!

Lagian pula menjadi golput tidak dibebankan pada rasa kecewa yang akan mungkin hadir ketika pilihan menunjukan hasilnya. Apa lagi dengan selogan nyinyir-menyiyir calon yang tidak disukai, tidak! Dalam berkehidupan masyarakat-pun tidak ada pertentangan yang berarti karna menjadi netral. "Bagiku menjadi netral adalah golput, hidup golput"

Dengan alasan golput atau tidak memilih, ketika kita akan mengkritik calon, atau ketika mereka telah "menjadi", tidak berat karna itu bukan pilihan kita. Berbeda ketika ia kita yang pilih, pasti rasa menyalahkan diri sendiri akan pilihan yang salah membayangi. Menulis kritik-pun tidak bebas karena pertimbangan moralitas sebagai pemilih.

Saya kira golput juga dapat menjadi kritik bagi bentuk politik itu sendiri. Ketika angka golput melonjak, eksistensi politik harus lah dipertanyakan. Yang paling utama adalah ketidakpercayaan pada politik itu sendiri, baik politikus atau sistem-sistem penunjangnya. Selama ini politikus memang dapat dipercaya? Bukankah selama ini umpan mereka hanya uang dan kau dicari-cari jika tahun politik datang, terus suaramu mereka beli, bahkan dengan sedikit melakukan doktrin memuakkan di berbagai media punya mereka sendiri?

Menurut saya perpolitikan Indonesia sudah tidak sehat sebagai politik itu sendiri. "Indentitas di politikan dan politik di indetitaskan". Baik politikus, maupun ide-ide politiknya dibenturkan pada upaya akan permusuhan, itulah yang sedang terjadi di Indonesia. Mungkin ini bagian dari strategi politik identitas dalam demokrasi mutakhir ini.

Belum lagi peranan oligarki yang sangat berperan penting bagi kedua calon dalam setiap pencalonannnya. Saya yakin setiap calon dalam demokrasi ada peranan oligarki yang kuat secara, baik modal maupun kekuatan politik mem-beck up kedua calon. Tidak diragukan lagi bahwa calon 02 adalah oligarki dalam bentuk nyata.

Meskipun 01 bukan berlatar belakang oligarki, tetapi dalam demokrasi modal kapital maupun genetik sangat penting dalam menjadi kendaraan pencalonannya sebagai petinggi negri. Kita tahu bahwa untuk menjadi ketua umum partai, jika dia bukan orang yang sanggup membuat partai itu sendiri, maupun keturunan dari pendiri partai, akan sangat sulit di Indonesia.

Saya sendiri menggap perkara demokratis bukan sesederhana bagaimana kita bersuara memilih calon yang ada. Tetapi memilih dengan ide, siapa-siapa yang pantas menjadi Presiden adalah mutlak dalam demokrasi. Ketika tidak ada calon yang menurut ide-ide kita sebagai warga negara cocok, menjadi golput-pun merupakan bagian dari menjadi warga demokratis itu sendiri.

Maka ketika kekuasaan ditunggangi penuh oleh oligarki dan semua penyelenggara negara termasuk Presiden di hadapakan pada setiap kepentingannya, saya yakin keruhnya negara ini akan terus berlanjut. Kita bisa tahu bagaimana selama ini pemerintahan Jokowi bekerja dengan latar belakang team baik kementrian ataupun staff ahlinya. Saya yakin ketika ia tidak di dukung dari belakang oleh oligarki pada saat pencalonannya maupun setelah ia menjabat tidak pro oligarki, nasibnya akan seperti Gus Dur, diturunkan secara cepat dalam kekuasaan.

Secara personal saya menilai Jokowi tidaklah buruk, hanya saja ia sedang berenang ditengah paus-paus kepentingan oligarki yang mendukung dirinya. Dimana ia tidak bisa lepas begitu saja untuk memenuhi kepentingan para oligarki berserta bisnis-bisnisnya. Kita lihat bagaimana Reklamsi Teluk Benoa yang tidak kunjung dicabut izinnya, Petani Kendeng yang tidak didengar aspirasinya dan para korban kejahatan manusia yang ditunda penyelsaiannya. Saya kira itu tanda bahwa semua politikus masih tersandara akan kepentingan-kepentingan oligarki yang semakin kuat dengan adanya demokrasi, dimana modal dan kekuatan politik menjadi jalan menuju kekuasaan.

Setidaknya pendapat dari Syamsudin Haris peneliti LIPI menjadi bahan renungan, mengapa politik Indonesia semakin keruh? Karena adanya operator profesional yang bersekongkol dengan Pebisnis hitam. Jika Jokowi masih melakukan pembangunan ala proyek sekarang dimana tidak adanya kongkalikong dengan pebisnis swasta memperlancar usaha mereka. Kedua, Politisi busuk yang di dalamnya termasuk ikut dalam kasus pelanggaran ham, korupsi dan sekarang menjadi pemimpin partai dan ikut menikmati kekuasaan saat ini. Ketiga, radikalis agama, dimana kekuatan ini sebagai pengerak merongrong kekuasaan dan berbagai kebijakan-kebijakannya.

Golput bagi saya sebagai perlawanan terhadap politik model yang semakin dikeruhkan oleh identitas dalam praktek demokrasi mutakhir. Dimana oligarki sangat besar berperan dalam hal ini, membuat semakin dominan kekuatan bayangan akan koflik kepentingan pada setiap tahun politik bukan hanya 2019 saja. Sebelum kecewa dengan berbagai kemungkinan yang ditimbulkan, tidak memilih adalah jawaban, karena ketika pemerintahan tidak membela kepentingan rakyat seutuhnya, untuk apa pemilu?. Tidak memilih berarti tidak akan kecewa, karna satu dari duanya akan tetap sama saja, tidak ada yang lebih baik, mereka sama-sama tersandra para oligarki yang berkuasa dengan kekayaannya.

Jangan pernah menganggap diri salah, anggapan label golput hina bagi mereka, hanya," mereka tidak mau kehilangan sebagian suaranya". Toh, ketika yang berkuasa nanti Represif, Totaliter, dan pengekang kebebasan rakyat, hukum demokrasi masih melindungi rakyat? Ketika hukum Negara tumul dapat di beli juga semakin merajalelanya kejahatan kekuasaan pada rakyatnya atas nama kepentingan-kepentingannya, sebaiknya rakyat "Turun ke jalan, hanya ada satu kata, Lawan!".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun