Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hidup Sebagai Lajang, Apa yang Harus Dilakukan?

19 Maret 2019   12:11 Diperbarui: 20 Maret 2019   17:12 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan pinggir Pantai Menganti, Kebumen, Jawa tengah [Gambar: Dokpri]

Apa betul kopi itu selamanya rasanya pahit? Sepertinya itu tidak selama ada upaya meracik dengan bahan yang dapat menambah manis. Kata teman, "saya-lah si bujang lapuk itu", horor memang, ada-kalanya  membuat parno. 

Tetapi apapun itu namanya tidak menjadi masalah. Kenyataan-nya saya memang masih membujang dan entah sampai kapan akan mengakhirinya. "Hidup seperti dalam ketidakpastian langkah kaki yang harus ditempuh".

Ada pepatah bilang, "Truk saja gandengan masa kamu tidak" menjadi pertanyaan, sebegitukah analogi ungkapan bagi seseorang yang melajang? Sulit disangkal memang, analogi apapun rasannya pantas jika hidup dalam kesendirian. Tunggu! Ini bukanlah akhir, tetapi awal dari, percayalah!

Ini memang tidak mudah, tetapi cukup menenangkan pikiran jika berpikir saat ini. Saya ingin ibaratakan, "kelajangan", jika manusia itu burung. Ia bisa terbang setinggi-tingginya tanpa beban "ia harus pulang ke rumah menjumpai Anak dan Istrinya". 

Memang terkesan seperti urakan, kadang pula ia tersesat. Berimajinasi tentang gaya hidup "Anak Jalanan" pantas disematkan pada kelajangan. Untuk itu, membuat kelajangan berbeda-pun harus mutlak dilakukan sebagai "Lajang" itu sendiri. Di tambah dengan kehidupan modern yang semakin kompleks dari sisi tata kehidupannya.

Tetap seberapa jauh Layangan itu terbang, ia punya dasar yang kuat untuk menahan supaya layangan tidak terbang secara tidak beraturan. Pasti, dengan kepolosan Anak kecil-pun ia tahu, harus mengikatkan benang yang dijadikan mediator terbangnya Layangan. Agar pada saat angin datang dengan kecangnya, ia tidak akan terbawa angin itu, karena dasar dari pegangnya kuat.

Sama halnya kelajangan yang harus direkam dengan baik. Lajang berarti bebas, tanpa terikat, tidak ada Istri yang menunggu dirumah, Anak yang merengek minta ditemani Ayah-nya. Bukan kelajangan tidak ada kesempatan ada ,"untuk menjadi ditunggu Istri", "menemani bermain Anak". Lajang hanya diistimewakan oleh waktu.

Namun kebebasan dalam "Lajang" memilih dirinya, untuk menentukan menjadi apa selagi masih hidup dalam kelajangan. Waktu yang dilebihkan jika dibandingkan dengan seorang yang sudah menikah. Kepuasan dalam menjadi Lajang: ia menetukan sendiri, mau "jadi" atau, untuk "apa" dirinya. Tiada yang lain, dirinya sendirilah yang menetukan. Menyesali atau mensyukuri dimasa ia sudah tidak melajang lagi?

Dalam bayang semesta pikiran memang mengoda imajinasi, jika waktu itu berlalu, seseorang akan terbawa berpikir, apa yang sudah dilakukan Ibaratnya, "penyesalan datang pada akhir keadaan setelah tersadar". 

Jika penyesalan datang di awal namanya "pendaftaran", itulah cloteh orang-orang menghibur dirinya sendiri. Karna tidak ada ungkapan selain menghibur dirinya. Agar tidak terlalu jauh juga ia hidup dalam penyesalannya yang ia buat sendiri. Ceroboh dalam mengambil keputusan!

Artikulasi "Lajang" sendiri sangatlah luas jika, bila mau dijabarkan. Ibarat Manusia itu "mau menjadi" haruslah sadar bahwa di dalam kebebasannya terdapat potensi yang harus digalinya. 

Meskipun harus dengan banyak berpikir, tetapi bukan masalah, sisa waktu sampai kapan Jodoh itu datang sebagai ajang menemukan diri sendiri dan mengaktualisasi diri secara pasti, bahasa kininya "bukan kaleng-kaleng".

Terdapat tantangan, kelajangan ibarat "belajar" di waktu tersenggang dalam hidup manusia. Mungkin di luar sana banyak orang frustasi. "Ayolah menikah", kalau bisa "semuda mungkin", mereka berpikir sederhana saja. Tidak menuntut apapun bagi dirinya sendiri. Ia, seperti ikut dalam logika formal yang tertanam masyarakat tradisional. Bahwa Usia 20-an sudah pantas untuk menikah dan "kefrustasian hidup" sendiri menjawab tantangan itu. 

Bolehlah kita sebagai lajang muktahir menilik gagasan kembali menikah. Saya tidak bilang "menikah itu buruk", justru saya ingin bilang "menikah sangatlah baik". Siapa yang tidak mau menikah dalam hidup ini? Karena ada ungkapan hidup ini hanya sekali. Mungkinkah seseorang di sana memikirkan hal yang sama? 

Selain melestarikan "Spesies", menikah juga membuat kita mempunyai teman hidup. Atau setidaknya, sebagai manusia yang dihidupi oleh orang tua, menghidupi Anak sendiripun bukan hanya prestasi, akan menjadi kesempurnaan hidup itu sendiri sebagai manusia. Ditambah dengan berbagai penelitian tentang menikah "paling menarik adalah perubahan dalam kepribadian".

Memang, sedikit-banyak, benarnya ada dalam penelitian itu. Menikah berarti "membangun keluarga", adanya status membuat sadar, jika telah menikah mengubah diri sangat mungkin dan wajib dilakukan. 

Dalam bersosialisasi dengan tetangga, menekan sisi egois diri kita, bahwa setiap keputusan bukan atas nama sendiri, memulainya kesadaran sebagai orang tua dari anak-anak kita dan masih banyak perubahan kepribadian yang lain, tentunya sangat banyak!

Oleh karena itu, kelajangan yang di istimewakan oleh waktu. Menurut saya periode dalam hidup "Lajang" adalah periode emas dalam hidup Manusia. Lajang sebagai jembatan persiapan dalam menatap pernikahan.

Jika dalam keadaan "Lajang" kita sudah bekerja dan mendapat penghasilan, akan mempengaruhi kehidupan kita setelah menikah nanti, percayalah! Dengan catatan, hidup lajang sendiri itu "Prihatin". Hidup prihatin dalam pengertian saya adalah hidup yang berorentasi pada masa yang akan datang. Istilah bahasa Jawa "ngapaknya" itu "ngemuti go dina ngesuk maning, esih ana dina". Saya yakin, bila direncanakan dengan baik, hidup dalam pernikahan pasti akan lebih mudah.

Dengan berbagai alasannya, "Lajang"sebagai jembatan emas periode hidup manusia. Saya menyimpulkan beberapa hal yang harus dilakukan seorang Lajang, juga pelajaran yang didapat dari lajang itu sendiri.  Akan lebih baik lagi jika "Lajang" mau dan sudah bekerja. Beberapa hal yang harus dilakukan lajang:

Mulai menabung. Bukan untuk tidak dinikmati hasil dari setiap pekerjaan yang telah kita kerjakan dengan keringat kita. Tidak selamanya gaji hanya dibuat untuk kesenangan saja. Semisal dapat "gaji" habis di waktu itu juga. Jika gaji di bayar bulanan, setiap bulan habis, bahkan bangkrut, mulai-lah untuk ditabung! 

Menabung bukan hanya perkara kita dapat mengendalikan nafsu dari jerat Konsumerisme. Tetapi bagaimana kita dapat memandang hidup lebih bijak. Sedikit atau banyaknya uang yang ditabung jelas akan membantu kita dalam berkebutuhan di-masa yang akan datang, misalnya jika ada tabungan dan mau nikah, biaya sudah ada. 

Juga, ingin mandiri? mau usaha, ada uang tabungan. Pun, sama jika ada Kredit Perumahan Rakyat DP murah, "dapat di ambil dengan uang tabungan itu". Selagi "lajang" masih belum tanggungan susu anak ibaratnya, akan bijak jika "mulai dengan menabung"

Membantu perekonomian orang tua. Usia manusia Indonesia kini dalam memulai "bekerja" di kisaran umur 19 tahun ke atas. Dengan perhitungan umur ini, sudah pasti semakin menjadi tua, orang tua kita! Bukan tua, alasan menjadi turunnya produktivitas. Tetapi manusia punya daya pada usia, keadaan ini tidak akan bisa ditawar. 

Sebagai "Lajang" dengan kelonggaran ekonomi, sangat patut bahkan diwajibkan membatu orang tua. Tidak perlu kuwatir pada uang kita, Orang tua baik! Enggan, bahkan tidak tega, dengan catatan "beliau masih sanggup bekerja" untuk bergantung pada anaknya. Pasti, jika uang anak-nya dipegangnya, akan dijadikan investasi menopang produktifitasnya dalam bekerja.

Semisal, Orang tua kita "Petani", sudah pasti uang itu untuk perluasan lahan untuk meningkatkan produksi mereka. Begitu-pun jika orang tua kita adalah Pebisnis, sudah pasti uang tersebut untuk kelacaran bisnisnya. Orang tau baik berpikir ekonomi harus maju bersama. Karena ketika Anak butuh "orang tua pun tetap menopangnya".

Belajar Menghargai hubungan. Lajang identik dengan kesendirian. Di malam yang sepi jiwanya seperti terkoyak kesepian itulah kata dari seorang pujangga lajang. Menanti kapan, kelajangan akan berakhir pada akhirnya. 

Setiap dari masalah yang ditunggunya untuk berdampingan dengan seseorang, mentalnya terlatih, bahwa berdua akan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, rasa syukur bila dapat hidup membangun hubungan akan lebih disyukurinya, ketimbang "mungkin yang tidak sedang dalam keadaan lajang".

Senggangnya waktu untuk belajar. Banyaknya kampus yang membuka kelas untuk kariyawan menjadi jawaban apa salahnya melanjutkan pendidikan? Jika uang sudah berlebih digunakan untuk hal baik tidak ada salahnya. 

Jika pendidikan hanya untuk mengejar gelar, tidak salah juga. Tetapi terpenting dalah keluangan waktu "lajang" itu sendiri, memanfaatkan dengan lebih baik, mencari bahkan meng-implementasi-kan kesadaran belajar sebagi Manusia. Supaya, tidak lain adalah menjadi lebih bijak bisa mengotrol diri lebih baik dengan banyaknya pengetahuan yang masuk dalam semseta berpikir kita.

Menimba ilmu dari pengalaman. Kebebasan itu sendiri, tidak ada keputusan yang memberatkan dari seorang lajang untuk mau menjalani hidupnya dimana. Pindah tempat bekerja, mencari tempat tinggal baru, bahkan merantau di tempat yang jauh dari rumah. 

Jika engkau seorang lajang yang suka dengan "treveling", bisa merantau dan bekerja di Bali, misalnya! Di sana, engkau dapat melampiaskan hobimu, dibalik itu melihat keragaman budaya dengan kearifan daerahnya masing-masing. Sebagai bahan pemgalaman-mu sendiri supaya engkau lebih luas dalam bersudut pandang, tidak terkurung atas nama krumunan sempit hidupmu sendiri.

Pengalaman yang luas akan membuat "keluwesan" dalam hidup Manusia. Di sisi lain, engkau menjadi toleran akan perbedaan dari keyakinan bahkan budaya hidup masyarakat manapun. Lajang seharusnya menjadi pembelajar yang baik akan kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun