Meskipun harus dengan banyak berpikir, tetapi bukan masalah, sisa waktu sampai kapan Jodoh itu datang sebagai ajang menemukan diri sendiri dan mengaktualisasi diri secara pasti, bahasa kininya "bukan kaleng-kaleng".
Terdapat tantangan, kelajangan ibarat "belajar" di waktu tersenggang dalam hidup manusia. Mungkin di luar sana banyak orang frustasi. "Ayolah menikah", kalau bisa "semuda mungkin", mereka berpikir sederhana saja. Tidak menuntut apapun bagi dirinya sendiri. Ia, seperti ikut dalam logika formal yang tertanam masyarakat tradisional. Bahwa Usia 20-an sudah pantas untuk menikah dan "kefrustasian hidup" sendiri menjawab tantangan itu.Â
Bolehlah kita sebagai lajang muktahir menilik gagasan kembali menikah. Saya tidak bilang "menikah itu buruk", justru saya ingin bilang "menikah sangatlah baik". Siapa yang tidak mau menikah dalam hidup ini? Karena ada ungkapan hidup ini hanya sekali. Mungkinkah seseorang di sana memikirkan hal yang sama?Â
Selain melestarikan "Spesies", menikah juga membuat kita mempunyai teman hidup. Atau setidaknya, sebagai manusia yang dihidupi oleh orang tua, menghidupi Anak sendiripun bukan hanya prestasi, akan menjadi kesempurnaan hidup itu sendiri sebagai manusia. Ditambah dengan berbagai penelitian tentang menikah "paling menarik adalah perubahan dalam kepribadian".
Memang, sedikit-banyak, benarnya ada dalam penelitian itu. Menikah berarti "membangun keluarga", adanya status membuat sadar, jika telah menikah mengubah diri sangat mungkin dan wajib dilakukan.Â
Dalam bersosialisasi dengan tetangga, menekan sisi egois diri kita, bahwa setiap keputusan bukan atas nama sendiri, memulainya kesadaran sebagai orang tua dari anak-anak kita dan masih banyak perubahan kepribadian yang lain, tentunya sangat banyak!
Oleh karena itu, kelajangan yang di istimewakan oleh waktu. Menurut saya periode dalam hidup "Lajang" adalah periode emas dalam hidup Manusia. Lajang sebagai jembatan persiapan dalam menatap pernikahan.
Jika dalam keadaan "Lajang" kita sudah bekerja dan mendapat penghasilan, akan mempengaruhi kehidupan kita setelah menikah nanti, percayalah! Dengan catatan, hidup lajang sendiri itu "Prihatin". Hidup prihatin dalam pengertian saya adalah hidup yang berorentasi pada masa yang akan datang. Istilah bahasa Jawa "ngapaknya" itu "ngemuti go dina ngesuk maning, esih ana dina". Saya yakin, bila direncanakan dengan baik, hidup dalam pernikahan pasti akan lebih mudah.
Dengan berbagai alasannya, "Lajang"sebagai jembatan emas periode hidup manusia. Saya menyimpulkan beberapa hal yang harus dilakukan seorang Lajang, juga pelajaran yang didapat dari lajang itu sendiri. Â Akan lebih baik lagi jika "Lajang" mau dan sudah bekerja. Beberapa hal yang harus dilakukan lajang:
Mulai menabung. Bukan untuk tidak dinikmati hasil dari setiap pekerjaan yang telah kita kerjakan dengan keringat kita. Tidak selamanya gaji hanya dibuat untuk kesenangan saja. Semisal dapat "gaji" habis di waktu itu juga. Jika gaji di bayar bulanan, setiap bulan habis, bahkan bangkrut, mulai-lah untuk ditabung!Â
Menabung bukan hanya perkara kita dapat mengendalikan nafsu dari jerat Konsumerisme. Tetapi bagaimana kita dapat memandang hidup lebih bijak. Sedikit atau banyaknya uang yang ditabung jelas akan membantu kita dalam berkebutuhan di-masa yang akan datang, misalnya jika ada tabungan dan mau nikah, biaya sudah ada.Â