Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banjir Nabi Nuh Abad 21

7 Desember 2017   10:59 Diperbarui: 9 Desember 2017   15:38 1834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kerangka penelanjangan rahasia di dalam media massa inilah Jean Baudrillard (Simulacra and Simulation, 1995) menyebutnya dengan istilah "kecabulan". Kecabulan yang dimaksud tidak harus selalu berkaitan dengan seksualitas atau erotisme, tetapi terkait dengan konteks yang lebih luas; sosial, politik hukum, informasi dan media.

Berkurung diri di rumah, dilindungi oleh alarm system yang modern dan pintu elektronik, kita (termasuk anak didik kita yang masih belia dan rentan) sekarang ini tetap tidak aman dari keganasan agresi layar kaca yang mengubah, meringkas, mengemas, dan memproduksi bencana alam, penculikan, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, kebrutalan, keserakahan dan kecabulan yang berada di mana-mana dan secara simultan dihadirkan di atas panggung tontonan keluarga. 

Media simulasi telah membawa kesadisan di salah satu sudut metropolitas ke ruang keluarga yang damai, menghadirkan keserakahan di sebuah pusat politik dan ekonomi ke atas panggung tontonan keluarga yang sederhana; menyajikan kecabulan di sebuah lokalisasi Wanita Tuna Susila (WTS) yang kumuh, di hotel berbintang, atau video biru ke atas panggung tontonan rumah yang suci, tempat benih-benih anak bangsa disemaikan. Citra kesadisan, keserakahan, kecabulan, dan kehampaan makna, tidak hanya hilang silih berganti, akan tetapi juga muncul dan menghilang dalam tempo yang semakin cepat, membentuk iring-iringan "fantasmogaria" yang meracuni pikiran dan jiwa manusia.

Layar kaca telah mengubah masyarakat kita menjadi massa penonton yang pasif dan tidak berdaya, terbius oleh apa saja yang disajikannya, tanpa sikap kritis sedikitpun. Sudah sedemikian  kuatnya pengaruh layar kaca dalam kehidupan kita sehingga sebagian telah mampu mengubah pola hidup seseorang, misalnya: "Saya besok tidak akan masuk sekolah / kerja karena ada Piala Dunia pada pukul 2 dini hari", atau mampu menghipnotis kita untuk duduk berjam-jam di belakang komputer tenggelam dalam samudera cyber, padahal informasi yang didapatkannya bisa jadi berupa sampah dan bahkan racun bagi kita sendiri.

Menumbuhkan Sikap Kritis

Kondisi yang dipaparkan tersebut adalah sebuah realita kebudayaan masyarakat kita saat ini yang sedang sakit. Dalam pandangan Yasraf A. Piliang (Dunia yang Dilipat, 2004), ibarat sebuah organisme, panorama kebudayaan masyarakat kita, sedang mengalami kekacauan atau disfungsi organ-organ tubuh: kepala sudah beralih fungsi menjadi dengkul, sehingga kini orang cenderung lebih banyak bertindak daripada berpikir; perut sudah mendominasi fungsi hati, sehingga orang lebih gandrung melampiaskan hasrat-hasratnya ketimbang melakukan kontemplasi dan perenungan diri; telinga telah dijajah oleh mulut, sehingga orang lebih banyak berbicara dibandingkan mendengarkan; dan organ mata  sudah menjelma menjadi otak, sehingga orang lebih banyak menonton dibandingkan membaca dan berpikir.


Televisi dan internet adalah sebuah keniscayaan peradaban pada abad ini, yang tidak perlu kita pungkiri. Yang perlu dilakukan adalah menempatkannya pada proporsi yang sesungguhnya. Keduanya adalah intrumen atau teknologi yang akan membantu kita mencapai tujuan hakiki kemanusiaan. Bukan tujuan dan bukan pula tuan. Berpikir dan bersikap kritis, sebagaimana yang ingin digugah pada wacana ini, bisa diibaratkan sebagai antibody yang bisa menangkal banyak virus sekaligus, termasuk virus layar kaca (televisi dan internet) yang telah menjangkiti masyarakat kita dewasa ini. 

Sayangnya, berpikir kritis masih merupakan hal yang mewah di negeri ini, sebuah bangsa yang masyarakatnya lebih suka ngobrol dan nonton daripada membaca. Tanpa daya kritis dalam menghadapi serbuan informasi yang datang tanpa henti, maka perkembangan kita sebagai manusia, baik sebagai individu maupun sebagai sebuah bangsa, akan mengalami kemandekan bahkan kehancuran.

Teknologi pada mulanya bersifat netral, dia bersifat baik sekaligus jahat, bisa membangun atau menghancurkan, tergantung kepada si penggunanya, ke arah mana ia mengerakannya. Begitu pula dengan televisi dan internet, yang pada hakikatnya adalah teknologi yang berbasis informasi audio visual. Peradaban kita sangat berhutang budi kepada keduanya. Dunia pendidikan tidak perlu memusuhinya, bahkan harus memanfaatkannya secara optimal. Para peserta didik harus dipersiapkan bagaimana mengakses, memilah, serta menyaring informasi yang positif bagi perkembangan emosi, otak dan jiwa mereka. 

Dengan perkembangan jaringan televisi global dan internet, peserta didik memiliki jutaan sumber informasi yang bisa diakses kapan pun mereka butuhkan, tanpa perlu beranjak dari kelasnya. Begitu pula dengan para guru, mereka pun akan lebih mudah, lengkap, berbobot dan inovatif dalam menyajikan materi/topik bahasan di kelas, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih dinamis dan parsipatoris, karena antara guru dan siswa berlomba untuk memperluas dan memperdalam pengetahuannya bersama-sama. 

Karena itu, mungkin saja dalam hal tertentu siswa memiliki pengetahuan yang lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan gurunya. Proses pembelajaran seperti ini tidak lagi terbelenggu oleh secarik kertas sakti yang disebut dengan kurikulum nasional, yang seringkali digonti-ganti secara tambal- sulam dengan visi dan esensi yang tidak jelas oleh mereka yang mengklaim dirinya sebagai pakar pendidikan, padahal anggaran yang dihabiskan untuk merancangnya sangat besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun