Mohon tunggu...
Tryas Munarsyah
Tryas Munarsyah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas di Website Pribadi : www.aslianakmuna.com

BERBAGI MENGINSPIRASI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Sistem Ekonomi (Bagian Pertama)

9 Oktober 2023   13:17 Diperbarui: 9 Oktober 2023   13:19 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Revolusi Sistem Ekonomi (Bagian Pertama)

Reparasi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation-state) sudah tidak cukup lagi menggunakan pendekatan reformatif, perbaikan yang sifatnya cabang-parsial-sektoral, melainkan harus masuk pada perbaikan yang sifatnya fundamental (radikal-menyeluruh-terpadu). Pada kesempatan kali ini, fokus pembahasan tentang Revolusi Sistem Ekonomi. Tentu saja, tema ini akan berkaitan dengan revolusi sektor kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya.

Problem Sistem Ekonomi Indonesia
Problem pertama terkait sistem ekonomi Indonesia, yaitu kontradiksi paradigma. Secara de jure, Indonesia mendeklarasikan sistem ekonomi gotong royong (Pancasila) namun secara de facto menerapkan sistem ekonomi liberal. Prinsip dasar ekonomi liberal menempatkan kebebasan individu dan kepemilikan pribadi sebagai pusat aktivitas ekonomi. Intervensi pemerintah dikondisikan seminimal mungkin. Pemerintah "cukup" memfasilitasi aktivitas ekonomi (privat).

Ekonomi liberal meyakini bahwa kesetimbangan ekonomi (arus pertukaran barang dan jasa) akan terbentuk secara alami (invisible hand). Pada praktiknya, kesetimbangan dalam ekonomi liberal tidak pernah benar-benar setimbang. Sangat tidak masuk akal jika situasi steady-state bisa terjadi secara spontan. Un-sunnatullah.

Terdapat 4 faktor penyebab asimetri kesetimbangan dalam praktik ekonomi liberal. Pertama, kompetisi sebagai motor penggerak ekonomi. "Kompetisi merupakan bahan bakar utama aktivitas ekonomi" adalah mantra tunggal yang dibisikkan sejak dini, di seluruh jenjang pendidikan, baik formal maupun informal. Kompetisi diyakini sebagai bensin yang menghidupkan mesin kegiatan ekonomi, menghasilkan barang dan atau jasa. Suasana kompetisi merawat ghirah ekonomi senantiasa terjaga (katanya). Melalui persaingan, manusia akan semakin terpacu beraktualisasi menghasilkan kreativitas ekonomi secara kontinu.

Faktanya, suasana kompetisi dalam ekonomi tidak akan pernah menghasilkan ekonomi yang sehat (keadilan ekonomi). Konsekuensi logis kompetisi (persaingan) selalu menciptakan winner-looser. Lebih lanjut, kompetisi merupakan penyebab kesenjangan ekonomi. Hal ini dibuktikan oleh data TNP2K (2019) yang mengatakan bahwa meskipun tingkat kemiskinan bisa ditekan sejak  2015, namun kesenjangan masih menjadi pekerjaan rumah.  Dalam laporannya, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.

Kedua, motif ekonomi. Secara alamiah, iklim kompetisi dalam ekonomi melahirkan situasi ketidakpastian (uncertainty) sehingga mendorong naluri rumah tangga manusia sebagai unit terkecil subyek ekonomi liberal untuk "mengamankan" masa depan. Oleh sebab itu, iklim kompetisi juga punya andil membentuk manusia menjadi kapitalistik-individual.

Ketiga, penguasaan sumberdaya. Penguasaan sumberdaya juga punya andil besar memperlebar kesenjangan ekonomi. Penelitian terbaru lembaga riset SMERU Institute menunjukkan bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa. Penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin. Tidak bisa dipungkiri, ada saja anak yang berasal dari keluarga miskin yang berhasil keluar dari siklus kemiskinan. Namun, persentasenya seperti sampling error dalam hitungan statistik, kecil sekali.

Penelitian SMERU Institute sangat masuk akal. Anak yang orang tuanya memiliki aset atau sumber daya maka akan memberikan peluang bagi anaknya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan atau kesuksesan pada masa depan. Misalnya, anak-anak yang lahir dari keluarga kaya memiliki peluang jauh lebih besar untuk memperoleh pendidikan non formal, baik yang sifatnya mendukung capaian pendidikan formal maupun yang sifatnya mengasah keterampilan serta kemampuan emosional dan spiritual bahkan sejak usia dini. Akses pada pendidikan yang tidak seimbang ini menjelaskan mengapa anak miskin sulit keluar dari jerat kemiskinan.

Keempat, akses terhadap uang sebagai penggerak sumberdaya. Akses terhadap SDF(inansial) memiliki korelasi kuat dengan tiga faktor lainnya. Praktik ekonomi Indonesia yang menempatkan uang sebagai "jasa" adalah penyebab utama ketimpangan dalam ekonomi. Bisa dikatakan, sistem uang adalah "otak" dari ekonomi liberal.

Uang yang bersifat pinjaman berbunga dengan agunan aset, lebih besar peluangnya diakses oleh mereka yang menguasai aset atau sumberdaya. Sebaliknya, rumah tangga ekonomi yang memiliki sedikit aset cenderung tidak berani "berjudi" untuk mengakses (meminjam) uang di bank atau lembaga jasa keuangan lainnya karena faktor ketidakpastian ekonomi akibat faktor persaingan. Untung belum tentu diraih, aset bisa jadi melayang (terlelang).

Situasi ekonomi menjadi semakin timpang akibat kuasa pemerintah yang tak mampu menjangkau moneter. Sementara, sumbangan langsung uang dari pemerintah (fiskal) terhadap ekonomi rakyat kalah jauh dibanding andil sektor moneter via perbankan.

Katadata(dot)co(dot)id (2019) melangsir kredit modal kerja yang disalurkan perbankan hingga Juni 2019 mencapai Rp 2.561,03 triliun. Sementara itu, penyaluran kredit investasi mencapai Rp 1.404 triliun. Untuk penyaluran kredit konsumsi, menurut data Statistik Perbankan Indonesia (SPI), mencapai Rp 1.502,61 triliun. Di sisi lain, Data Kemenkeu merilis realisasi belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 hingga akhir tahun mencapai Rp 2.310 triliun atau setara 93,9% dari pagu APBN 2019 yakni sebesar Rp 2.461,11 triliun.

Total keluaran uang via perbankan (jasa keuangan) sebesar 5467,64 T. Angka ini 2,3 kali lipat lebih banyak dibanding sumbangsih uang yang dikeluarkan via APBN. Persentasenya bisa lebih tinggi jika belanja gaji dan fasilitas penyelenggara dikeluarkan dari struktur belanja pemerintah. Apalagi, 82,5 % pendapatan yang dipakai belanja oleh pemerintah bersumber dari pajak (mayoritas) rakyat. Dengan demikian, peran pemerintah dalam ekonomi Indonesia sudah terkondisikan minimalis. Pemilik sistem uanglah yang paling berkuasa. Ini juga membuktikan bahwa sistem keuangan Indonesia belum berdaulat.

-QFA-
#RepublikasiDamai
#RevolusiSahDanDAmai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun