Mohon tunggu...
Komalku Indonesia
Komalku Indonesia Mohon Tunggu... Freelancer - Komunitas Menulis

(Komunitas Menulis Buku Indonesia) "Berjuang demi Bangsa lewat Kata kata"

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menatap Ngilu Kebiri Literasi pada Guru Agama Anggota Komalku Ini

3 November 2021   03:44 Diperbarui: 3 November 2021   05:37 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Kemesraan Pujon

"Bu, buku ini apa layak minta pengantar Kepala Dinas?"

"Sangat layak, silahkan diusahakan, akan saya masukkan."

Belum sampai usaha ke sana, ajudan wakil bupati yang dia kenal dihubungi. Mendapat saran, buku ini misal dibaca bapak Wabup pasti sangat suka. Beliau orang yang peduli literasi.

Nasib buku dan ajuan pengantar berpindah tangan, ke tangan stake holder, penguasa. Apresiasi tinggi diberikan, Wabup memberikan endorsement, bersedia datang melaunching buku tersebut tepat saat Sumpah Pemuda. Di sekolahnya.

Ijin kepada Kepala Sekolah, disupport. Tak ada kendala awalnya. Persiapan dilakukan, termasuk pementasan teater dengan baca puisi di dalamnya. Dia sendiri menjadi pelatih sekaligus koreografer.

Tak kenal lelah, segala persiapan dilakukan. Demi sukses acara, demi anak-anak yang sumringah bisa melampiaskan ekspresi rindu pementasan setelah sekian lama dipenjara pandemi.

Masalah mulai muncul beberapa hari sebelum pementasan. Guru-guru lain yang merasa lebih hebat, punya prestasi dan menulis buku lebih banyak unjuk diri. Mengapa dia yang diapresiasi, mengapa bukan mereka?

Pada saya dia menangis,
"Saya memang bukan apa-apa bu. Cuma guru agama yang gandrung literasi. Bukan bidang saya menulis membuat buku. Apalagi mengajukan diri dilaunching orang penting."

Menggelegak darah saya. Kata-kata "cuma" untuk sebutan guru agama mengandung kata meremehkan. Baiklah, jam pelajaran kami kalah dibanding mata pelajaran lain. Hanya 2 jam perminggu. Sementara Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris bisa 4 jam. Akan tetapi itu tidak berarti kami harus dipknggirkan, dikalahkan hingga ditekan ketika akan menunjukkan eksistensi.

Bukan untuk sekedar pameran, tetapi pembuktian kepada anak didik bahwa materi-materi pendidikan agama juga inhern dengan materi non spiritual. Misal pada puisi-puisi bu guru kawan saya itu. Ruh tasamuh, toleransi, spirit, optimisme sebagai bagian dari materi pendidikan agama nyata dalam bait-baitnya. Bisa menumbuhkan karakter yang diinginkan ketika membaca puisinya. Sebagai bukti, siswa suka, hingga mau mementaskan.

Sampai di sini saya berpikir, kalau hanya guru bahasa Indonesia yang boleh diapresiasi karya literasinya, alangkah ironi. Sempit makna dan pemahaman. Sebab karya tulis dalam bentuk apapun bagi saya adalah hak semua bidang, semua orang. Bagi saya guru bahasa Indonesia adalah penyampai tatanan, bagaimana menulis dengan benar. Titik. Tidak sampai intervensi melarang orang lain menghasilkan karya literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun