Sambil menikmati teh, saya berusaha mencerna cerita, penjelasan dan pengalamannya sebagai guru sekaligus orang tua. Banyak cerita tentang perilaku murid yang membuat saya masih harus banyak belajar menjadi orang tua.
Salah satunya adalah memberi batasan penggunaan handphone. Tidak cukup menentukan hari apa boleh dan tidak boleh. Kapan dan situasi bagaimana perbolehkan anak menggunakan handphone. Tetapi mesti ada nilai yang ditanamkan kepada anak. Sekaligus memberi pengertian bagaimana hargai keberadaan dan kebersamaan dengan orang lain.
Jika handphone lebih akrab dengan anak-anak, murid dibanding bersama teman. Demikian pula orang-orang sibuk dengan handphone dibanding orang sekitar atau dekatnya.Â
Boleh jadi ini merupakan lonceng peringatan terkait karakter seseorang. Sekaligus sinyal tanda bahaya akan kualitas sumberdaya manusia yang berkarakter.
Praktik pendidikan bermutu menghadapi tantangan terkait masalah karakter. Kerjasama dan kolaborasi antara guru, murid dan orang tua dibutuhkan. Tetapi jangan lupa, Â semua perlu diwujudkan dalam sebuah sinergi yang baik. Bukan sekadar slogan dan omong kosong di ruang seminar apalagi di angkringan atau cafe.
Memperbaiki karakter butuh komitmen dari semua pihak agar sinergi guru, murid dan orang tua memperoleh pendidikan bermutu siap hadapi tantangan abad 21.
Pertama, menanamkan karakter pada diri sendiri. Murid bukan obyek pendidikan. Guru, orang tua mesti memberi contoh. Bentuknya memiliki integritas yang tinggi. Konsisten, teguh dalam memegang nilai moral atau nilai luhur. Akan keyakinan diri, terutama kejujuran dan kebenaran.
Memiliki tanggungjawab atas segala perbuatan atau tindakan. Tidak mudah menyalahkan orang lain atau mencari alasan pembenar dari perbuatan salahnya.Â
Bersikap dewasa terhadap kritikan, belajar dari kesalahan. Dapat  mengendalikan diri, sabar, berpikir panjang dan mampu melihat sebuah persoalan dari berbagai sudut pandang.Â