Pohon talok atau pohon kresen dan kios koran itu pasti merasa kehilangan, atas kepergianmu untuk selama-lamanya. Saat bertugas di Mahkamah Agung, engkau sudah mulai jarang menyambangi mereka berdua. Mereka pasti rindu, tapi mereka paham kesibukan pekerjaanmu.
Sebagaimana kerinduan saya, menemukan sosok yang sangat berintegritas dengan profesinya. Â Berprinsip pada rasa dan suara keadilan, serta teguh dan tegas menegakkan nilai kebenaran yang hakiki.
Namun demikian engkau tetap ramah pada siapa saja dan menunjukkan sikap rendah hati. Walau timbangan keadilan ada di tangan kirimu dan pedang ada di tangan kananmu.
Ramah dan santun kepada siapa saja. Termasuk saat beberapa kali saya bertemu dengannya di kios koran langganan di salah satu ruas Jl. Godean Yogyakarta beberapa puluh tahun lalu.
Murtini pemilik kios penjual koran terkejut mendengar berita kepergianmu lewat televisi malam itu. Demikian pula saya, saat membaca berita di handphone lewat salah satu situs berita.Â
Artidjo Alkostar meninggal di apartemennya.
"Bapak orangnya baik. Â Sayang. Padahal bisa jadi contoh buat yang muda-muda," katanya sambil mengangkat jempol sebagai bentuk pujian pada Artidjo Alkostar.Â
Dia sering jajan di warung nasi saya juga dulu, kenang Murtini saat saya temui di kiosnya yang sudah tidak di bawah pohon talok lagi. Tapi sudah bergeser sedikit ke barat. Di pertokoan, kira kira sekitar 20 meter jauhnya.
"Walau sudah jadi pejabat. Bapak masih selalu membeli koran di sini. Sambil menanyakan kabar. Tapi saat di MA, bapak jarang ke sini" jelas Murtini. Mungkin sibuk dengan pekerjaannya. Tapi setelah jadi pengawas KPK, bapak kerap mampir lagi untuk beli koran, tambahnya.
Walau industri informasi mulai bergeser dari media cetak ke media elektronik. Kebiasaan membeli surat kabar tidak bergeser dan masih dilakukan oleh mantan Hakim Agung ini, saat pulang ke Yogya.
Manakala booming media cetak, Artidjo setiap hari membeli berbagai surat kabar terbitan lokal atau nasional. Murtini sempat heran, "Kapan bapak membacanya ?" tanyanya dalam hati saat itu, sambil mengenang hal-hal yang unik dan mengesankan dari sosok yang berperawakan kurus.Â
"Terkadang Bapak, sore mampir sambil menyodorkan daftar surat kabar yang besok dibelinya." Kenang Murtini terhadap sosok Artidjo, manakala masih aktif di LBH Yogya.Â
Sebelum pergeseran minat orang membaca dari surat kabar ke gadget. Sudah jarang tulisan-tulisannya ditemukan di halaman opini surat kabar. Kemungkinan besar karena kesibukan pekerjaan yang menyita pikiran. Kemungkinan lain jabatan publik yang disandang, membatasi dirinya untuk tidak banyak menunjukkan opini atau pemikiran pribadi di surat kabar. Boleh jadi Artidjo menjaga etika profesi.
Tetapi gantian para wartawan tidak jarang memperoleh berita menarik dari sepak terjang Artidjo Alkostar sebagai Hakim Agung yang memberi keputusan dan pernyataan berbeda dengan hakim lainnya atau dissenting opinion dalam menangani beberapa kasus besar di Mahkamah Agung. Atau putusannya yang memperberat hukuman bagi para koruptor.
Saya mencoba mengenangnya dengan cara mengunjungi kios koran, langganan almarhum yang dulu banyak menjajakan berbagai macam surat kabar dari koran, tabloid dan majalah.
Kiosnya kecil, sekali lagi kios ini dulu terletak tepat di bawah pohon talok yang berdiri di pinggir jalan dan persis dipinggir sungai kecil. Kios yang sudah berusia 30 tahun dan mungkin pohon talok lebih tua umurnya. Kini ditinggal salah satu pelanggan setianya, Artidjo Alkostar.
Apalagi berjualan koran sudah tidak seramai dulu. Kios koran disebut demikian karena hampir seluruh bagian tertutup koran, tabloid dan majalah. Saat itu, beberapa kios koran di Yogya bukan hanya tempat jualan koran. Tetapi juga sarana mengasah kemampuan intelektual mahasiswa dan beberapa kolumnis muda.Â
Tidak sedikit kolumnis di Yogya dulu berteman akrab dengan para penjual surat kabar atau pemilik kios koran. Tujuannya bisa membaca gratis koran sekaligus mengecek apakah tulisannya di muat di salah satu surat kabar lokal atau nasional.
Artidjo dahulu aktif menulis masalah hukum di halaman opini media cetak. Tetapi yang jelas tidak memanfaatkan keakraban dengan pemilik kios koran, supaya dapat membaca gratis. Saat itu kios koran Murtini masih sering ditunggu oleh suaminya.
Waktu terus berjalan dan zaman terus berganti. Tetapi seperti pepatah mengatakan harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan gading. Kita pada akhirnya juga akan meninggal. Apakah cukup hanya dengan meninggalkan nama ?
Mari belajar dari sosok seperti Artidjo Alkostar.