Apalagi berjualan koran sudah tidak seramai dulu. Kios koran disebut demikian karena hampir seluruh bagian tertutup koran, tabloid dan majalah. Saat itu, beberapa kios koran di Yogya bukan hanya tempat jualan koran. Tetapi juga sarana mengasah kemampuan intelektual mahasiswa dan beberapa kolumnis muda.Â
Tidak sedikit kolumnis di Yogya dulu berteman akrab dengan para penjual surat kabar atau pemilik kios koran. Tujuannya bisa membaca gratis koran sekaligus mengecek apakah tulisannya di muat di salah satu surat kabar lokal atau nasional.
Artidjo dahulu aktif menulis masalah hukum di halaman opini media cetak. Tetapi yang jelas tidak memanfaatkan keakraban dengan pemilik kios koran, supaya dapat membaca gratis. Saat itu kios koran Murtini masih sering ditunggu oleh suaminya.
Waktu terus berjalan dan zaman terus berganti. Tetapi seperti pepatah mengatakan harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan gading. Kita pada akhirnya juga akan meninggal. Apakah cukup hanya dengan meninggalkan nama ?
Mari belajar dari sosok seperti Artidjo Alkostar.