Mohon tunggu...
Abdur Rohman Al
Abdur Rohman Al Mohon Tunggu... Al fakir ala rahmatillah

seorang penuntut ilmu yang ingin mencurahkan isi pikirannya dalam goresan aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

NDEMPA NDIHA: Simbol Perlawanan, Rasa Syukur dan Komunikasi Sakral Lelaki Ngali

23 Mei 2025   14:25 Diperbarui: 23 Mei 2025   14:22 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika Tubuh Berbicara dalam Ritual Lelaki Ngali

            Setelah panen raya usai dan sawah-sawah mulai mengering, teriakan semangat dari lelaki muda dan tua bergema dari Desa Ngali, sebuah perkampungan adat di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Mereka berkumpul bukan untuk berpesta, melainkan untuk melaksanakan ritual unik yang dikenal sebagai Ndempa Ndiha. Sebuah tradisi bela diri massal yang tampak seperti "berkelahi" bersama satu desa, namun penuh makna, sakralitas, dan nilai sosial budaya. sekilas, Ndempa Ndiha mungkin tampak seperti perkelahian liar. Namun sebenarnya terdapat kommunikasi simbolik  di balik tubuh yang saling beradu tersebut. Menurut pandangan  antropologi, ini bukan sekadar adu fisik, melainkan wujud bahasa budaya yang mencerminkan nilai, sejarah, dan bahkan teologi.

Ndempa Ndiha dalam Bingkai Antropologi Simbolik

            Ndempa Ndiha dalam perspektif Antropologi simbolik, seperti yang dikembangkan oleh Clifford Geertz, menegaskan bahwa budaya adalah sistem makna yang dibentuk dan dipertahankan manusia melalui simbol. Dalam tradisi Ndempa Ndiha, setiap gerakan, waktu pelaksanaan, dan partisipasi eksklusif laki-laki merupakan simbol yang sakral. Ia hadir sebagai komunikasi spiritual antara Masyarakat umum dan transenden. Waktu pelaksanaannya masa akhir panen bukanlah kebetulan. Di tengah tradisi agraris yang sangat bergantung pada kemurahan alam dan berkah Tuhan, ritual ini menjadi ungkapan syukur yang berbeda. Bukan dengan ucapan lisan, melainkan melalui Tindakan tubuh. Dari perspektif komunikasi media, Ndempa Ndiha berfungsi sebagai media komunikasi sosial non-verbal. Di tengah masyarakat yang sebagian besar tidak mendokumentasikan budaya secara tertulis, ritual semacam ini menjadi living archive atau arsip hidup yang memelihara memori kolektif. Lewat Ndempa Ndiha, pesan tentang keberanian, kekompakan, dan identitas bersama disampaikan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ini menjadi media edukasi sosial: bahwa menjadi lelaki Ngali bukan hanya tentang kekuatan fisik, tapi tentang tanggung jawab, solidaritas, dan cinta terhadap kampung halaman. Komunikasi yang dibangun juga bersifat ritualistik. Menurut James Carey, komunikasi bukan sekadar sarana untuk  menyampaikan informasi, tapi juga ritual yang memperkuat ikatan sosial. Ndempa Ndiha adalah momen tahunan di mana makna tentang diri sendiri, keadaan kita,dan bagaimana kita seharusnya  hidup dalam harmoni.

Tubuh Lelaki Sebagai Medium Sakral

            Dalam masyarakat Ngali, laki-laki memegang peran penting dalam ranah kerja keras pertanian, pertahanan keluarga, bahkan kehormatan desa. Dalam Ndempa Ndiha, tubuh laki-laki bukan hanya symbol kekuatan, tetapi juga ketahanan budaya.

            Mengapa hanya laki-laki? Antropologi menjelaskan bahwa dalam masyarakat tradisional, laki-laki sering dijadikan symbol kekuatan kolektif. Mereka menjadi aktor utama dalam ritual yang bersifat publik dan komunal. Ini berbeda dari peran perempuan yang cenderung berada dalam ranah domestik dan spiritual. Namun bukan berarti perempuan tak terlibat. Mereka adalah penonton yang memberi makna, penjaga nilai yang memastikan ritual tetap berjalan dalam batas adat. Tradisi ini juga berfungsi sebagai alat integrasi sosial.  Dalam masyarakat Ngali yang secara geografis dan historis bersifat komunal, Ndempa Ndiha menjadi momen penyatuan. Lelaki dari berbagai marga dan umur turun bersama. Di sana, perbedaan status sosial luntur. Semua setara di hadapan ladang kering dan tradisi. Dalam konteks sosial modern yang semakin individualistik, praktik ini menunjukkan bahwa budaya bisa menjadi alat untuk menghidupkan kembali ikatan sosial yang renggang. Bahkan secara psikologis, Ndempa Ndiha menjadi ajang pelepasan emosi yang mungkin tertahan selama musim tanam. Dalam benturan tubuh itu, terdapat pelepasan stres, ada pembersihan jiwa, dan ada perayaan atas kemenangan bersama melawan kekuatan alam.

Islam dan Tradisi: Syukur yang Dinamis

            Ndempa Ndiha bukan sebagai praktik yang bertentangan dengan prinsip Islam, melainkan sebagai bentuk kebudayaan lokal yang Islami.  Rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen bukanlah monopoli ucapan lisan semata. Dalam konteks lokal desa Ngali, rasa syukur bisa mengambil bentuk yang bersifat performatif. Syukur dalam Islam memang bisa diekspresikan lewat kata, sikap, dan tindakan. Dalam Ndempa Ndiha, tindakan berjibaku secara kolektif adalah manifestasi syukur yang kontekstual dan historis. Tidak ada unsur kekerasan yang bersifat destruktif. Ini bukan tawuran, melainkan simulasi kekuatan yang dikendalikan oleh norma adat.  Para sesepuh biasanya hadir sebagai penjaga moralitas ritual. Mereka memastikan bahwa batas-batas kultural dan spiritual tidak dilanggar. Kadang sebelum ritual dimulai, ada ritual pembuka yang menandai bahwa kegiatan ini berada dalam bingkai spiritual, bukan brutalitas.

KESIMPULAN

            Ndempa Ndiha bukan hanya tradisi, ia juga merupakan narasi. Ia adalah cerita tentang bagaimana orang-orang Bima,khususnya masyarakat Ngali memaknai hidup, panen, rasa syukur, dan keberanian. Dari tubuh-tubuh yang saling beradu di sawah kering itu, kita belajar bahwa komunikasi bisa hadir dalam tiga bentuk utama: gerak, napas, dan rasa. Kami mendoronng semua untuk tidak ceroboh atau tidak menghormati tradisi ini. Kita perlu menghidupkan dan mengembangkan tradisi ini dalam ruang-ruang diskusi, pendidikan, dan kebijakan. Karena ketika sebuah budaya hilang, yang lenyap bukan hanya sebuah pertunjukan, tetapi juga cara unik manusia memaknai Tuhan, alam, dan sesamanya. Ndempa Ndiha adalah bahasa tubuh lelaki Ngali. Bahasa yang tidak pernah dibukukan, tetapi selalu dirasakan. Bahasa yang tidak diajarkan melalui huruf, tetapi melalui sejarah dan keyakinan. Dan seperti semua bahasa sakral, ia layak didengar dan dilestarikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun