Mohon tunggu...
Andrianikity
Andrianikity Mohon Tunggu... Penulis

I am a freelancer, actively writing on several novel platforms and also a longing poet.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Pengkhianatan Tanpa Kata

27 Oktober 2024   13:21 Diperbarui: 27 Oktober 2024   13:24 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh RDNE Stock project: pexels.com

Pengkhianatan di Tengah Malam
-1-

"Sayang, hentikan. Nanti Yasima tahu, aku tidak ingin semuanya terbongkar dengan cara seperti ini," lirih Zehra, suaranya bergetar.

Ketika aku mengambil segelas air dari dapur, namun tiba-tiba, telingaku menangkap suara bisikan yang menggelitik rasa penasaran. Awalnya samar, seperti tawa kecil yang tak terduga di malam yang sepi itu.

Aku mengernyit, menghentikan langkahku. Bisikan itu semakin jelas. Seketika rasa curiga muncul, memaksaku untuk mendekati sumber suara yang seakan memanggilku.

Suara itu berasal dari kamar tamu yang kuberikan untuk Zehra---sekretaris sekaligus sahabat terbaikku. Pintu kamarnya sedikit terbuka, cukup untuk suara-suara itu keluar.

Namun, yang membuat darahku seakan berhenti mengalir adalah suara suamiku, Syar, yang juga terdengar dari balik pintu itu.

Hatiku mulai mencelos. Napasku tercekat, tidak mampu beranjak. Apa yang sedang terjadi di balik pintu itu?

"Yasima sedang di kamar, aku tidak bisa menahan kerinduanku padamu," bisik Syar, suaranya dalam dan penuh h a s r a t.

Aku menutup mulutku dengan tangan, gemetar. Rasa dingin menjalari seluruh tubuhku. Aku memaksakan diriku untuk melangkah, mendekat, meski hati kecilku berteriak agar aku mundur, agar aku tidak melihat apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Namun kakiku terus melangkah.

"Tunggu, Sayang," Zehra melanjutkan, "Kita bisa melakukannya lain kali, bukan di kamar ini. Ini milik Yasima."

"Aku tahu ini rumah Yasima," jawab Syar dengan suara rendah, "Tapi kamu juga i s t r i k u. Aku berjanji setelah ini kita akan membeli a-p-a-r-t-e-m-e-n di dekat ka-ntor Yasima. Kita akan lebih mudah tinggal bersama, dan bisa merawat putri kita dengan lebih baik."

Pintu itu sedikit berayun ketika aku menyentuhnya. Dan di baliknya, pemandangan yang membuat seluruh duniaku runtuh dalam sekejap mata: Syar, suamiku, duduk di pinggir r-a-n-j-a-n-g dengan tangan masih meli-ngkar di t-u-b-u-h Zehra.

Zehra---yang selama ini ku anggap sahabat dan kepercayaanku, duduk di hadapannya dengan wajah memerah. Paka-iannya berantakan, jemarinya sibuk mengan-cingkan kemeja yang terb-uka.

Ruangan itu mendadak sepi. Syar berdiri dengan wajah yang pucat pasi, sementara Zehra memalingkan wajah, tak sanggup menatapku.

"Yasima..." Syar berbisik, suaranya gemetar.

Aku tidak berkata apa-apa. Lidahku terasa kaku. Mata berkaca-kaca, aku hanya bisa menatap mereka berdua, berusaha mencerna kenyataan yang begitu brutal. Sahabatku. Suamiku. Pengkhianatan ini begitu nyata di depan mataku.

"Yasima, biar aku jelaskan..." Suara Syar pecah dalam kebisuan itu, mencoba mendekatiku dengan tangan terulur.

"Jelaskan apa?" Aku akhirnya menemukan suaraku, namun itu keluar lebih keras dari yang kuduga. "Jelaskan bahwa kau telah menipuku? Menikahi Zehra di belakangku? Atau menjelaskan bagaimana kau bisa berc*umbu dengan sahabat yang kuanggap keluarga sendiri di rumah kita ini?"

Syar terdiam. Wajahnya kehilangan semua warna, seperti seorang pria yang baru saja tertangkap basah melakukan dosa yang tak termaafkan. Dia menundukkan kepalanya, sementara Zehra masih tidak berani menatapku.

"Yasima, aku---" Zehra mulai bicara, suaranya lirih dan gemetar.

"Diam!" suaraku memotongnya tajam. Aku menatapnya dengan penuh kebencian, meski hatiku terasa hancur berkeping-keping. "Kau adalah sahabatku, Zehra. Aku mempercayaimu. Kau tinggal di rumahku, bekerja bersamaku, kau sudah ku anggap seperti saudaraku, bahkan putrimu bermain dengan putriku. Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?"

"Kau berc*umbu dengan suamiku, Zehra. Di rumahku... di rumah yang memberikanmu kenyamanan. Tapi kau menu*sukku dari belakang!"

Air mata mulai membasahi wajahku, tapi aku tidak peduli. Aku ingin mendengar alasan mereka, meski ku tahu tak ada penjelasan yang bisa memperbaiki rasa sakit ini.

Zehra terisak, masih tidak berani mendekatiku. "Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu, Yasima. Syar dan aku... kami sudah bertunangan sebelum kau dan dia bersama. Aku tidak pernah bermaksud---"

"Tidak bermaksud?" Aku tertawa kecut. "Bagaimana bisa kau tidak bermaksud ketika setiap hari kau tinggal di rumahku, bertingkah seolah tidak ada apa-apa, sementara di belakangku kalian berdua menjalani kehidupan lain? Bagaimana bisa kau begitu kejam, Zehra?"

Syar mencoba meraih tanganku, namun aku mundur. Aku tidak ingin sentuhannya sekarang. Aku tidak ingin merasakan apa pun dari pria yang telah mengkhianatiku.

"Yasima, dengarkan aku," katanya dengan suara yang tercekik. "Aku mencintaimu, tapi---"

"Tapi apa?" Aku menantangnya, memotong setiap kata yang ingin dia ucapkan. "Kau mencintaiku tapi kau juga mencintainya? Kau mencintaiku tapi kau punya keluarga lain? Seorang anak yang usianya sama dengan anak kita? Berapa lama kau berniat menyembunyikan semua ini dariku, Syar? Seumur hidup?"

Syar menunduk. "Aku tidak tahu harus berkata apa... Aku tidak ingin menyakitimu..."

"Tidak ingin menyakitiku?" Aku tertawa lagi, kali ini pahit, tanpa ampun. "Kau sudah menyakitiku, Syar. Kau menyakitiku lebih dari yang bisa kau bayangkan. Bagaimana bisa kau hidup dalam kebohongan selama ini? Bagaimana bisa kau membiarkan aku hidup dalam kebohonganmu?"

Zehra menangis semakin keras, dan untuk pertama kalinya, dia memberanikan diri menatapku lebih tajam. "Maafkan aku, Yasima. Aku tahu aku tidak punya hak untuk memintamu memaafkanku, tapi... aku sungguh tidak ingin ini terjadi."

"Ini sudah terjadi, Zehra," kataku dengan suara yang nyaris berbisik. "Dan yang paling menyakitkan adalah kau, dari semua orang, yang seharusnya mengerti. Kau tahu betapa aku mencintai Syar. Kau tahu betapa aku mempercayaimu. Tapi kau justru merusaknya."

Ruangan itu sunyi lagi, hanya terdengar isak tangis dari Zehra dan napas berat dari Syar. Sementara aku berdiri di sana, hancur, seolah-olah setiap dinding dalam hidupku telah runtuh.

"Jadi, apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanyaku dingin. "Meninggalkanku? Membangun kehidupan kalian yang sempurna bersama anak kalian?"

Syar menggeleng cepat. "Tidak, Yasima. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak bisa. Aku mencintaimu..."

Aku menghela napas panjang, merasa lelah dan kalah. "Kau sudah meninggalkanku, Syar. Pada saat kau memilih untuk menikahi Zehra di belakangku, kau sudah meninggalkanku."

"Yasima, tolong mengertilah, aku dan Syar sudah saling mencintai bahkan sudah merencanakan pernikahan, sebelum kau dan Syar bertemu. Seharusnya... aku yang jauh lebih dulu tersakiti di sini!" ungkap Zehra membela seolah dialah korbannya.

"Andai saja aku tahu, bahwa lelaki yang aku nikahi adalah milikmu, aku tidak akan pernah menerimanya. Namun justru kau menikahi lelaki yang sudah menjadi suamiku, kau yang berkhianat di sini, Zehra!" ucapku tegas agar dia menerima keberadaan yang dia khianati.

"Yasiama, tolong... jangan salahkan Zehra, karena disini akulah penyebabnya." Di malam terbuktinya pengkhianatan justru suamiku membela wanita yang telah menghancurkan kebahagiaanku.

Ikuti kisah selanjutnya yang jauh lebih menarik dan menguras emosi dalam duka.

Klik L i n k di bawah ini atau cari judul dan penulisnya ya..  

https://read.kbm.id/book/detail/103ca190-e626-40ed-8d1f-8acd4998a733?af=9f7ebc48-3d44-44a2-f486-6df7b30ac6da

Judul Novel : Pengkhianatan Tanpa Kata
Penulis : Andrianikity
Platform : KBM app

Happy reading...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun