Fatima menggigit bibirnya, mencoba menahan luapan emosi yang hampir membuatnya meledak. "Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kamu tidak akan membiarkan ini terjadi. Kamu tidak akan mengkhianati aku, Mas."
Dengan itu, Fatima bergegas keluar dari rumah, meninggalkan semua kenangan dan harapannya yang hancur.
Hatinya terasa seperti dihancurkan menjadi ribuan keping. Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
"Fatima...!" Hans mengejar Fatima, namun langkahnya terhenti oleh teriakan ibunya.
"Hans, mau ngapain lagi? Fatima memilih pergi darimu sejak dulu, bahkan pernikahan kamu dengan Safira juga tidak akan dia sanggupi. Jadi, Ibu harap kamu lupakan Fatima dan fokus dengan Safira!" pinta ibunya menekan.
"Bu, aku mencintai Fatima. Walaupun aku tidak mendapatkan  keturunan dari Fatima, aku menerima kenyataan itu, dan aku tidak akan berhenti mencintainya," jawab Hans tegas.
"Mas..." Safira menghampiri Hans dan ibu mertuanya itu.
"Aku tahu kamu sangat mencintai mbak Fatima, tapi sekarang, aku juga sudah menjadi istrimu... Malam ini, juga malam pertama kita sebagai suami istri." Dengan wajah memelas seakan Safira menjadi korban di hari pernikahannya.
"Benar yang dikatakan Safira, sudahlah, biarkan saja Fatima berpikir. Yang terpenting saat ini kamu dan Safira segera memberikan cucu untuk Ibu." Dera terus meracuni pikiran Hans dan mementingkan perasaan Safira yang seolah tersakiti oleh kehadiran Fatima.
Hans tidak bisa berbuat apa-apa selain membalikkan badannya dan bersedia digandeng Safira yang kini menjadi istrinya.
Di luar rumah, di bawah langit senja yang semakin gelap, Fatima merasa kesepian dan kehilangan.