Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Rahim Artifisial, Solusi Kepunahan Peradaban?

9 Februari 2022   13:15 Diperbarui: 10 April 2022   12:41 1722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rahim artifisial (artificial womb). | Diolah dari YouTube/ Hashem Al-Ghaili

Di tengah ancaman penyusutan populasi pada akhir abad ke-21, muncullah ide 'gila' di kalangan para ilmuwan: rahim artifisial.

Tak ada satu pun yang abadi. Runtuhnya peradaban umat manusia tidak akan bisa dihindari. Narasi sejarah telah mencatat runtuhnya peradaban kuno yang pernah menapakkan kakinya di atas kerak bumi.

"Peradaban besar tidak dibunuh. Mereka mencabut nyawanya sendiri," tulis sejarawan asal Inggris, Arnold Toynbee, dalam magnum opus berjudul "A Study of History". Buku yang dirilis pada 1934 itu mengisahkan jatuh bangunnya berbagai peradaban manusia pada masa lampau.

Dalam beberapa poin, dia mungkin benar bahwa peradaban kerap kali bertanggung jawab atas kemundurannya sendiri. Akan tetapi, pemusnahan peradaban lazimnya disebabkan oleh sejumlah faktor lain.

Kekaisaran Romawi, misalnya, menjadi korban dari beragam penyakit peradaban, seperti ekspansi berlebihan, perubahan iklim, degradasi lingkungan hidup, serta kepemimpinan yang buruk. Akan tetapi, Romawi baru benar-benar lenyap ketika Roma diserang oleh bangsa Visigoth dan Vandal pada abad kelima.


Hal serupa juga menghantam Majapahit yang dahulu pernah disegani kerajaan-kerajaan di Asia. Namun, usai menginjak usia sekitar dua abad, kerajaan Nusantara itu pun akhirnya tidak kuasa melawan gempuran takdir.

Usai sepeninggal Hayam Wuruk, takhta Majapahit berkali-kali berganti. Konflik internal imperium memicu peperangan serta mempercepat runtuhnya kerajaan yang nyaris menguasai seluruh tanah di Nusantara dan beberapa wilayah di Asia Tenggara.

Meskipun tidak ada teori tunggal yang disepakati mengenai misteri runtuhnya peradaban, sejarawan serta antropolog mengusulkan sejumlah faktor, seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, serta ketidaksetaraan dan oligarki.

Di luar ketiga faktor itu, sejatinya masih banyak variabel lain yang dapat memicu lenyapnya peradaban. Yang jelas, semua faktor itu bisa berkontribusi. Runtuhnya peradaban merupakan sebuah fenomena titik kritis, tatkala tekanan melampaui kapasitas masyarakat untuk bertahan.

Adagium Prancis menyebut "l'histoire se repete", artinya sejarah seperti selalu berulang. Apa yang saat ini kita hadapi, dahulu sudah pernah dialami oleh para pendahulu kita. Demikian pula dengan jalannya peradaban manusia.

Konsep itu amat identik dengan Doktrin Pengulangan Abadi yang ditulis dalam berbagai bentuk sejak masa kuno. Lalu, dijelaskan ulang pada abad ke-19 oleh Heinrich Heine dan Friedrich Nietzsche, yang berbunyi: sejarah berulang dengan sendirinya.

Gejala pengulangan sejarah pun telah menampakkan tajinya ketika negara di seluruh dunia diterjang pandemi Covid-19 yang mana menjadi repetisi pandemi pada masa lalu, seperti Black Death dan Flu Spanyol.

Merujuk data Woldometers, tercatat ada 5,7 juta lebih kasus kematian akibat virus corona. Walaupun tidak sedramatis Black Death, pandemi Covid-19 sudah lebih dari cukup mengakibatkan penyusutan populasi di beberapa negara.  

Ketegangan dan konflik antar-negara yang sewaktu-waktu bisa menjelma jadi peperangan pun dapat memungkinkan keruntuhan peradaban. Setidaknya akan mengurangi populasi sebagai akibat dari krisis dan jatuhnya banyak korban jiwa.

Penurunan populasi ini sejatinya menjadi kabar baik untuk lingkungan karena akan ada sedikit orang yang menghasilkan gas rumah kaca dan polutan lain. Akan tetapi, pada saat yang sama, nasib manusia juga berada dalam ancaman serius.

Sayangnya, saat ini dunia masih belum siap menyikapi penurunan tajam angka kematian. Terlebih, sejumlah peneliti telah memprediksi angka kelahiran akan menurun signifikan pada masa depan.

Sebuah penelitian baru menunjukkan era peningkatan populasi manusia mungkin akan segera berakhir, dengan implikasi besar bagi masyarakat global, ekonomi, dan ekologi.

Tingkat kesuburan global. | BBC.com
Tingkat kesuburan global. | BBC.com

Studi Jurnal The Lancet memperkirakan populasi dunia bisa mencapai sekitar 9,7 miliar pada tahun 2064, naik dari sekitar 7,8 miliar angka saat ini. Sebelum lantas menyusut signifikan menjadi 8,8 miliar pada akhir abad ini.

Studi Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) itu bertentangan dengan perkiraan Divisi Kependudukan dari PBB–yang memprediksikan bahwa populasi pada 2100 akan mencapai 10,9 miliar, dan akan terus meningkat.

Proyeksi penyusutan populasi pada 2100. | BBC.com
Proyeksi penyusutan populasi pada 2100. | BBC.com

Degradasi populasi terparah dialami oleh Jepang yang diperkirakan turun dari 128 juta pada 2017 (rekor tertinggi) ke kurang dari 53 juta. Populasi Italia pun diprediksi akan menurun secara drastis, dari 61 juta ke 28 juta dalam periode yang sama.

Keduanya adalah bagian dari 23 negara, meliputi Spanyol, Portugal, Thailand, serta Korea Selatan, yang populasinya diperkirakan turun lebih dari setengah.

China sebagai negara terpadat, diprediksi akan memiliki populasi tertingginya pada angka 1,4 miliar jiwa dalam waktu empat tahun ke depan. Namun, populasi negara pimpinan Xin Jin Ping akan turun hampir separuhnya menjadi 732 juta pada 2100.

Di samping itu, populasi dunia juga akan menua secara dramatis, dengan jumlah manula berusia 80 tahun akan sebanyak bayi yang baru lahir. Bagi para ilmuwan, hal itu sangat mengkhawatirkan.

Menurut para ahli, penurunan tingkat kesuburan tak disebabkan berkurangnya jumlah sperma atau hal lain yang sering disinggung dalam diskusi fertilitas. Akan tetapi, disebabkan lantaran lebih banyak perempuan yang teredukasi dan bekerja. Selain itu, kian luasnya akses kontrasepsi membuat perempuan bisa memilih untuk memiliki anak lebih sedikit.

Rahim Artifisial

Anda mungkin berpikir fenomena ini bagus untuk lingkungan. Populasi dunia yang lebih kecil tentu akan mengurangi kepadatan penduduk, emisi karbon, pencemaran, deforestasi, dan seabrek problem ekologi lain. Kelestarian bumi pun akan lebih terjaga.

Namun, ketika dunia memiliki struktur usia terbalik (lebih banyak kaum manula daripada anak muda) bisa menciptakan beragam konsekuensi negatif pada masa depan. Demikian prediksi para ilmuwan.

Beberapa negara bahkan telah mencoba kebijakan seperti migrasi, memperbaiki sistem cuti melahirkan untuk orangtua, perawatan anak gratis, insentif finansial, dan hak-hak pekerja tambahan lainnya. Akan tetapi, hingga kini belum ada hasil yang terlihat.

Penurunan populasi juga menyita atensi tokoh dunia. CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, berharap ada lebih banyak orang yang  memiliki anak. Penyusutan itu, bagi Musk, merupakan persoalan serius, salah satunya bisa memicu raibnya peradaban. Ia bahkan berani memberi contoh dengan memiliki enam anak, alih-alih dua anak seperti program KB.

"Jika orang tidak memiliki lebih banyak anak, peradaban akan runtuh. Tandai kata-kataku," ungkap Musk.

Musk mengungkapkan betapa penting kolonisasi luar angkasa, taruhlah Mars, sebagai jalan keluar atas penyusutan populasi umat manusia di Bumi. Perlu adanya ekosistem untuk menghindari kepunahan massal yang mungkin akan terjadi pada masa depan.

"Jika tidak ada cukup orang untuk Bumi," tulisnya, "maka pasti tidak akan cukup untuk Mars."

Sebuah ide revolusioner-kontroversial lantas lahir ke permukaan. Para peneliti menyodorkan rahim artifisial (artificial womb) sebagai solusi atas penyusutan populasi spesies Homo sapiens.

Alan Flake, seorang dokter asal AS yang memimpin eksperimen itu, mengatakan bahwa dia dan timnya sedang mencoba untuk membangun sebuah sistem yang dapat menyerupai rahim ibu.

Cetak biru eksperimen rahim buatan ini sebenarnya telah dipatenkan pada tahun 1955 lalu. Namun, studinya baru dimulai pada tahun 1996 di Universitas Juntendo, Tokyo. Adapun eksperimen yang tengah dikembangkan Flake dan timnya, adalah yang termutakhir selama dua dekade ini.

Motif di balik eksperimen rahim buatan didorong oleh keinginan ilmuwan untuk menyelamatkan manusia yang rentan di bumi. Usai tiga tahun masa eksperimen, prototipe terbaru rahim buatan didesain untuk memberi bayi prematur peluang hidup yang lebih besar.

Dalam studi yang diterbitkan pada jurnal Nature Communications, Flake dan tim menemukan cara untuk melahirkan janin domba di luar tubuh ibu, janin yang pada akhirnya akan menjadi anak domba sama seperti janin normal.

Anak domba dikanulasi pada usia kehamilan 107 hari dalam biobag (rahim artifisial). | Nature.com/ Rumah Sakit Anak Philadelphia via The Guardian
Anak domba dikanulasi pada usia kehamilan 107 hari dalam biobag (rahim artifisial). | Nature.com/ Rumah Sakit Anak Philadelphia via The Guardian

Pada 2017 lalu, dia berhasil mereplikasi kondisi rahim kambing lengkap dengan organ dan unsur yang dibutuhkan janin untuk bertumbuh seperti plasenta, tali pusar, ketuban sintetis, dll.

Teknologi ini terdiri dari kantong plastik bening (biobag) yang berisi cairan ketuban sintetis. Sebuah mesin yang melekat pada tali pusar berfungsi serupa plasenta, menyuplai nutrisi dan oksigen, serta mengeluarkan karbon dioksida.

Rahim artifisial bukan pengganti proses kehamilan penuh. Anak domba ini tidak tumbuh dalam biobag sejak pembuahan. 

Ia diambil dari rahim induknya melalui operasi caesar, lantas direndam di dalam kantong. Berbeda dengan bayi tabung (in vitro fertilisation) yang mana pembuahan terjadi di luar tubuh sang induk.

Flake saat ini tengah dalam pembicaraan serius dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Ia meminta izin agar dapat mulai menguji rahim buatan pada embrio manusia sungguhan. Bila berjalan sesuai rencana, masih butuh sepuluh tahun atau lebih untuk mengembangkan piranti canggih itu sepenuhnya.

Serupa dengan apa yang dilakukan oleh Flake, ilmuwan di China pun kini sedang membangun teknologi yang sama. Pada 1 Februari 2022, mereka dilaporkan tengah menguji rahim buatan pada embrio tikus. Mereka bahkan menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) guna memantau kondisi embrio secara simultan.

Lewat rahim buatan, seorang perempuan akan dapat memiliki anak sendiri, tanpa harus melalui kehamilan atau dengan ibu pengganti lewat bayi tabung. Ketimbang mengandung selama sembilan bulan, janin bisa dipindah ke rahim buatan yang akan memberikan kondisi rahim yang sehat bagi bayi.

Teknologi ini memungkinkan perempuan dengan kondisi medis tertentu untuk bisa memiliki anak. Selain itu, rahim buatan juga memungkinkan kaum Hawa untuk mempertahankan kemandiriannya sebab mereka tidak perlu susah payah lagi mengandung, terlebih bagi perempuan pekerja.

Namun, di sisi lain, perangkat itu dapat menimbulkan masalah etika, termasuk pertanyaan mengenai apakah rahim artifisial bisa diterima untuk diuji pada manusia sungguhan. Biar bagaimanapun, sentuhan seorang ibu sampai kapan pun tidak akan bisa digantikan oleh mesin.

There are fields, Neo, endless fields where human beings are no longer born. We are grown. - Morpheus

Pada masa depan, ladang janin yang pernah kita tonton dalam "The Matrix", bisa jadi akan segera menjadi kenyataan. Alih-alih dilahirkan, bayi-bayi manusia akan diternakkan di dalam kepompong dengan skala industri. Keren atau ngeri?

Hingga di sini, yang sejatinya paling saya khawatirkan bukanlah ide rahim artifisial atau menurunnya populasi Homo sapiens, melainkan merosotnya daya dukung lingkungan, yang pada akhirnya juga akan memusnahkan seluruh peradaban.

Idealnya, kemajuan teknologi bisa sejalan dengan perilaku kita dalam menghargai alam dengan keanakaragaman hayatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun