Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Keusangan Terencana, Misteri di Balik Gawai yang Mudah Rusak

19 September 2021   11:32 Diperbarui: 12 April 2022   11:26 2833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keusangan terencana (Planned Obsolenscence). | Paulzhuk/ Shutterstock via reviewgeek.com

Pernah merasa jengkel karena gawaimu terlalu mudah rusak walaupun belum lama dibeli? Strategi keusangan terencana adalah biang kerok utamanya.

Beberapa waktu yang lalu, baterai gawai adik saya mengalami kerusakan. Supaya tidak menghambat kegiatannya, dia pun memutuskan membeli baterai yang baru untuk menggantikannya.

Padahal, beterai gawai yang sudah rusak itu belum lama dibeli, baru sekitar enam bulan masa pemakaian. Jika ditotal, adik saya sudah melakukan empat kali siklus penggantian baterai di gawai yang sama. Saya juga sempat merasakan hal serupa. Sudah dua kali saya terpaksa mengganti baterai smartphone dengan yang baru.

Agar lebih murah, saya menggantinya secara mandiri. Lantaran letak baterai yang menempel pada sisi sirkuit layar, pengerjaannya membutuhkan upaya yang cukup keras. Kalau tidak berhati-hati, gawai akan mengalami kerusakan yang lebih parah. Bahkan, mati total.

Apakah desain baterai yang menempel erat pada sirkuit layar serta bodi yang direkatkan secara permanen hanyalah kebetulan? Atau, malah disengaja agar pengguna kesulitan saat mereka ingin memperbaikinya sendiri?

Kerusakan serupa juga ditemukan pada earphone punya adik saya. Dalam kurun waktu setahun saja, sudah empat buah earphone yang berakhir di tong sampah. Berbeda dengan gawai yang masih bisa diganti suku cadangnya, earphone lebih sulit diperbaiki lantaran komponennya terlalu ringkih dan sulit untuk dicari.

Bagi pengguna printer, saya yakin, Anda acap merasa jengkel akibat kartrid tinta terlalu cepat mengalami kerusakan. Jika ditotal, biaya untuk menggantikan suku cadangnya mampu melebihi harga baru dari printer itu sendiri.

Saya pun merasa gemas. Apa memang kualitas kebanyakan produk elektronik serapuh itu?

Fenomena yang kami alami itu dikenal dengan istilah "planned obsolescence" atau keusangan terencana. Setiap orang mungkin pernah merasakan hal serupa. Meski begitu, tidak banyak orang yang tahu bahwa kerusakan tersebut adalah skenario yang telah direncanakan sejak dalam pikiran. Kok jahat banget, ya?

Keusangan terencana adalah strategi bisnis dalam mendesain suatu produk dengan rentang usia pemakaian yang sengaja dibatasi. Sehingga, produk itu akan menjadi usang usai tempo waktu tertentu. Keusangannya dapat berupa model yang sudah ketinggalan zaman atau produk yang tidak lagi berfungsi dengan baik, bahkan sampai rusak.

Keusangan terencana memberikan kesan bahwa produk sengaja dibuat cepat rusak agar konsumen segera membeli yang baru (versi terbaru).

Gagasan mengenai keusangan terencana tentu bukan hal baru. Ide itu pertama kali ditulis pada tahun 1928 lalu oleh pelopor pemasaran AS, Justus George Frederick.

Ia menganggap perlu guna mendorong konsumen agar mau membeli berbagai produk yang selalu ditingkatkan. Tidak untuk menggunakannya, tetapi supaya mereka membuangnya karena dampak umur pemakaian yang singkat. Strategi tersebut sekaligus untuk mengaktifkan serta menggenjot volume perdagangan.

Hampir seabad sejak Frederick pertama kali mencetuskan keusangan terencana, idenya kini ada di mana-mana. Banyak perusahaan yang memakai strategi itu. Kita seolah sedang tenggelam di antara puing-puing produk yang dibangun di atas konsep keusangan terencana.

Strategi itu dipakai untuk mendongkrak angka penjualan jangka panjang dengan jalan memperpendek durasi pembelian berulang. Akibatnya, itu akan memaksa konsumen untuk terus membeli produk yang baru. Sebetulnya mereka bisa-bisa saja merancang produk yang lebih awet, tetapi kebijakan itu tak menguntungkan.

Produsen akan memastikan produknya cepat usang sebelum benar-benar perlu diganti. Lalu, mereka akan meluncurkan model baru dengan banyak peningkatan dibanding versi-versi sebelumnya. 

Cara itu dilakukan agar pada kemudian hari konsumen merasa perlu untuk membeli produk dan layanan terbaru yang dirilis pabrikan sebagai subtitusi produk yang lama (usang).

Sumber: Thomas Imo/Photothek /Getty Images
Sumber: Thomas Imo/Photothek /Getty Images

Praktik itu kerap kali kita jumpai pada berbagai jenis produk dengan inovasi teknologi yang sangat cepat, taruhlah smartphone serta komputer. Produk-produk berteknologi lama akan segera ketinggalan zaman serta berpotensi kehilangan pasar jika tidak diperbarui. Hal itu juga didukung oleh hasrat tinggi masyarakat yang selalu menginginkan produk terbaru dengan kualitas terbaik.

Intel dan Microsoft selalu mengadopsi taktik itu kala merancang prosesornya. Mereka sudah mulai mengerjakan chip PC generasi berikutnya sebelum lantas memasarkan produk terakhir. Hal yang sama juga bisa ditemukan pada produk lain yang memerlukan perangkat lunak.

Software terbaru kerap diperhitungkan dengan cermat guna mengurangi nilai kegunaan versi sebelumnya. Tujuan itu dicapai dengan cara membuat program hanya kompatibel dalam versi terbaru. Dengan kata lain, versi terbaru mampu membaca semua aplikasi dan program versi lama, tetapi tidak sebaliknya.

Apakah kalian pernah menerima sebuah notifikasi yang menyebut bahwa aplikasi tertentu sudah tak akan lagi bisa dipakai pada perangkat lama Anda? Nah, saat itu lah keusangan terencana sedang bekerja!

Contoh kasus keusangan terencana yang paling terkenal datang dari Apple. Pada tahun 2018 lalu, jaksa Prancis menuntut perusahaan itu. Sebab, di bawah hukum negara Prancis, "memotong usia" suatu produk dengan sengaja merupakan aksi kejahatan. Akibatnya, mereka harus rela membayar denda senilai 27 juta dolar AS. Nominal itu setara dengan penghasilan mereka hanya dalam tempo 3 jam saja.

Berbicara tentang usia pemakaian, rata-rata daya tahan smartphone ialah antara dua hingga tiga tahun. Itu lah mengapa begitu banyak orang memiliki laci yang dipenuhi produk elektronik yang sudah rusak, termasuk laci saya di rumah.

Konsumen acap menganggap keusangan terencana sebagai "plot jahat" produsen untuk menipu mereka. Pasalnya, produk yang telah dibeli akan cepat rusak, yang tentunya merugikan pelanggan. Namun, di sisi lain, strategi yang sama juga bisa memicu pertumbuhan inovasi teknologi dengan sangat sporadis.

Strategi itu bukan tanpa risiko. Ia juga bisa menjadi bumerang. Jika produsen terlalu sering mengeluarkan produk-produk baru, penolakan konsumen bisa terjadi. Pasalnya, konsumen tak terlalu yakin bahwa munculnya produk terbaru dapat memberikan nilai tambah untuk menggantikan yang lama. Kalau dirasa produk yang sudah dibeli mudah rusak, mereka bisa saja beralih ke merek lain.

Dampak terhadap Lingkungan

Mengganti produk terus-menerus, alih-alih memperbaikinya, akan melahirkan limbah serta polusi, dan dapat memicu eksploitasi sumber daya alam berlebih. Dengan demikian, keusangan terencana selanjutnya akan menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan.

Tiap kali kita membuang produk yang dianggap ketinggalan zaman, hasilnya banyak muncul penumpukan sampah elektronik yang terus bertambah dari waktu ke waktu.

Pada tahun 2019 saja, diperkirakan ada sekira 53 juta ton perangkat elektronik diproduksi secara global, dengan hanya sekitar 20 persennya yang didaur ulang. Sementara sisanya dibakar, ditimbun, atau dibuang di area perairan, seperti di sungai atau lautan. Itu lah yang sering menjadi persoalan.

PBB memprediksi jumlah sampah jenis elektronik akan menyentuh 74 juta ton pada tahun 2030 dan bisa melonjak lagi mencapai 120 juta ton pada tahun 2050 mendatang. Setengah dari sampah itu adalah perkakas rumah tangga. Sisanya TV, komputer, smartphone, dan tablet.

Di samping plastik, di dalam komponen barang elektronik terkandung berbagai logam berat seperti alumunium, kobalt, kadmium, kromium, lithium, merkuri, nikel, perak, besi, tembaga serta timah.

Sebagian logam berat itu bisa meracuni tubuh manusia dan membawa dampak kesehatan serius. Ketika limbah-limbah elektronik itu dibakar, zat beracun akan menyebar di udara dan merusak lapisan atmosfir. Sementara jika ditimbun, akan mencemari tanah dan air.

Keusangan terencana hendaknya lebih dicermati lagi, baik dari sisi konsumen maupun lingkungan. Harus ada langkah-langkah konkret guna mencegah adanya kerugian-kerugian yang akan dirasakan masyarakat global sebagai dampaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun