Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Keusangan Terencana, Misteri di Balik Gawai yang Mudah Rusak

19 September 2021   11:32 Diperbarui: 12 April 2022   11:26 2833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keusangan terencana (Planned Obsolenscence). | Paulzhuk/ Shutterstock via reviewgeek.com

Contoh kasus keusangan terencana yang paling terkenal datang dari Apple. Pada tahun 2018 lalu, jaksa Prancis menuntut perusahaan itu. Sebab, di bawah hukum negara Prancis, "memotong usia" suatu produk dengan sengaja merupakan aksi kejahatan. Akibatnya, mereka harus rela membayar denda senilai 27 juta dolar AS. Nominal itu setara dengan penghasilan mereka hanya dalam tempo 3 jam saja.

Berbicara tentang usia pemakaian, rata-rata daya tahan smartphone ialah antara dua hingga tiga tahun. Itu lah mengapa begitu banyak orang memiliki laci yang dipenuhi produk elektronik yang sudah rusak, termasuk laci saya di rumah.

Konsumen acap menganggap keusangan terencana sebagai "plot jahat" produsen untuk menipu mereka. Pasalnya, produk yang telah dibeli akan cepat rusak, yang tentunya merugikan pelanggan. Namun, di sisi lain, strategi yang sama juga bisa memicu pertumbuhan inovasi teknologi dengan sangat sporadis.

Strategi itu bukan tanpa risiko. Ia juga bisa menjadi bumerang. Jika produsen terlalu sering mengeluarkan produk-produk baru, penolakan konsumen bisa terjadi. Pasalnya, konsumen tak terlalu yakin bahwa munculnya produk terbaru dapat memberikan nilai tambah untuk menggantikan yang lama. Kalau dirasa produk yang sudah dibeli mudah rusak, mereka bisa saja beralih ke merek lain.

Dampak terhadap Lingkungan

Mengganti produk terus-menerus, alih-alih memperbaikinya, akan melahirkan limbah serta polusi, dan dapat memicu eksploitasi sumber daya alam berlebih. Dengan demikian, keusangan terencana selanjutnya akan menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan.

Tiap kali kita membuang produk yang dianggap ketinggalan zaman, hasilnya banyak muncul penumpukan sampah elektronik yang terus bertambah dari waktu ke waktu.

Pada tahun 2019 saja, diperkirakan ada sekira 53 juta ton perangkat elektronik diproduksi secara global, dengan hanya sekitar 20 persennya yang didaur ulang. Sementara sisanya dibakar, ditimbun, atau dibuang di area perairan, seperti di sungai atau lautan. Itu lah yang sering menjadi persoalan.

PBB memprediksi jumlah sampah jenis elektronik akan menyentuh 74 juta ton pada tahun 2030 dan bisa melonjak lagi mencapai 120 juta ton pada tahun 2050 mendatang. Setengah dari sampah itu adalah perkakas rumah tangga. Sisanya TV, komputer, smartphone, dan tablet.

Di samping plastik, di dalam komponen barang elektronik terkandung berbagai logam berat seperti alumunium, kobalt, kadmium, kromium, lithium, merkuri, nikel, perak, besi, tembaga serta timah.

Sebagian logam berat itu bisa meracuni tubuh manusia dan membawa dampak kesehatan serius. Ketika limbah-limbah elektronik itu dibakar, zat beracun akan menyebar di udara dan merusak lapisan atmosfir. Sementara jika ditimbun, akan mencemari tanah dan air.

Keusangan terencana hendaknya lebih dicermati lagi, baik dari sisi konsumen maupun lingkungan. Harus ada langkah-langkah konkret guna mencegah adanya kerugian-kerugian yang akan dirasakan masyarakat global sebagai dampaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun