Absurdnya, renovasi itu bukan dilakukan guna memperbaiki bagian rumah utama, melainkan bagian belakang yang hendak dipakai untuk ruang fitness, ruang tamu, serta shelter. Ia menyebut, area belakang rumah dinasnya tersebut dalam kondisi yang sudah tidak layak. Ia juga berdalih, gedung tersebut juga bisa dimanfaatkan sebagai ruang isolasi untuk warga yang terpapar Covid-19.
Selain fitness, apakah ia tidak berencana untuk mambangun biang lala atau roller coaster di belakang rumah dinasnya agar tak stres selama menjalani mandatnya?
Tren buang-buang anggaran yang sama sebelumnya juga diperagakan oleh Ketua DPR Kota Banda Aceh, Farid Nyak Umar. Namun, ia tak menjelaskan area rumah dinas mana yang akan direnovasi.
Berdasarkan data dari LPSE Banda Aceh, anggaran renovasi rumah dinas sebesar Rp2,6 miliar dan pengadaan mobil dinas senilai Rp800 juta yang bersumber dari APBK Banda Aceh. Tender dua proyek itu kebarnya telah selesai dilakukan.
Tak hanya berhenti sampai di situ. Bagi yang menganggap anggaran senilai Rp2 miliar hingga Rp5 milar adalah jumlah uang yang amat besar, maka Anda akan lebih terguncang dengan anggaran yang dialokasikan untuk proyek berikut ini.
Proyek pembangunan rumah dinas milik Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, menghabiskan anggaran sebesar Rp34 miliar. Membuat satu unit rumah dengan anggaran sebarbar itu di tengah pandemi tentunya sangat sulit diterima akal sehat. Apakah ia akan membangun istana di tengah gubuk reyot rakyatnya?
Yang bikin saya mengelus dada, proyek itu ternyata belum 100 persen rampung. Kabarnya, masih dibutuhkan anggaran tambahan untuk menyelesaikannya.
Sang bupati mengklaim, pembangunan rumah dinas itu agar pejabat, termasuk dirinya, tak mengontrak. Sebab, selama ini daerahnya belum memiliki fasilitas rumah negara untuk para pejabatnya.
Namun, lucunya, meski "mengontrak", ternyata rumah mereka masing-masing lah yang dikontrak dan dibayar dengan uang negara. Tinggal di rumah sendiri, tetapi ditraktir pakai duit rakyat. Maka nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Dalam situasi krisis yang masih belum terkendali, apa pantas menghamburkan dana untuk membiayai proyek-proyek yang kurang mendesak?