Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

World Cup 2022 Qatar, Kafala, dan Tumbal 6.500 Pekerja

30 Maret 2021   18:57 Diperbarui: 28 April 2022   05:36 3926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain Fifa World Cup Qatar 2022 oleh Timo Al-Farooq dari Flickr.com

Sudah kontroversial sejak dalam pikiran. Adagium yang mungkin pantas guna disematkan kepada ajang Piala Dunia 2022 di Qatar.

Sudah kontroversial sejak dalam pikiran. Betapa tidak, pada proses penetapannya sebagai tuan rumah, negeri petrodolar itu acapkali diwarnai oleh berbagai polemik dan kontroversi, bahkan hingga hari ini.

Secara iklim Qatar dianggap tidak cocok untuk menggelar ajang sepak bola akbar selevel Piala Dunia FIFA. Di samping itu, penetapannya juga dapat memicu efek domino bagi jadwal kompetisi di negara lain (baca: berantakan).

Sederhananya, penetapan Qatar untuk menyelenggarakan Piala Dunia adalah sebuah kesalahan besar. Sangat besar!

Aroma kongkalikong penunjukkannya pun semakin menguar ketika penegak hukum asal Amerika Serikat sukses mengungkap adanya praktik suap dalam memuluskan langkah Qatar menjadi tuan rumah.


Kala itu, Qatar menyingkirkan Amerika Serikat, Australia, Korea Selatan, serta Jepang dalam bursa pemilihan host Piala Dunia pada tahun 2010 silam.

Mantan presiden AFC, Mohammad Bin Hammam, dituding menjadi bohir atas terpilihnya Qatar. Dugaan suap semakin menguat lantaran dia berpaspor Qatar.

Nominal senilai sekitar 1,5 juta dolar AS disebut-sebut mengalir ke kantong para petinggi asosiasi sepak bola Afrika agar mereka mau memilih Qatar sebagai host.

Piala Dunia 2022 Qatar. | Worldfootball.net
Piala Dunia 2022 Qatar. | Worldfootball.net
Anehnya, kendati dia dilengserkan dari kursi bos AFC secara tak hormat, kasus yang menyeret namanya bukan terkait penetapan Qatar. Namun, karena kasus suap untuk "mengkudeta" Sepp Blatter dari takhta presiden FIFA.

Eks bos UEFA, Michel Platini, pun turut terciduk pada 18 Juni 2019 lalu lantaran terlibat dalam pemilihan Qatar sebagai tuan rumah ajang empat tahunan itu.

Ironisnya, kendati aroma busuk kasus suap sudah menguar ke mana-mana, status daratan pertrodolar itu sebagai penyelenggara Piala Dunia tidak gugur.

Pasalnya, laporan Komite Etik dari FIFA menyebut bahwa aturan yang dilanggar hanya pada level yang terbatas dan tidak terbukti terkait dengan proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia.

FIFA tak mencium adanya benang merah secara langsung antara proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia dengan tindakan suap yang berasal dari Bin Hammam.

Sebelumnya Qatar juga telah diterpa oleh bermacam isu bilateral dengan sejumlah negara tetangga. Arab Saudi, Yaman, serta Uni Emirat Arab, telah memutus relasi diplomatik dengan Qatar.

Mereka kompak melakukan blokade jalur perbatasan negaranya. Jalur transportasi darat, laut, serta udara, dari dan ke Qatar juga turut ditutup. Hal itu lantaram Qatar ditengarai sudah melindungi kelompok yang dinilai prone to terrorism.

World Cup 2022 Qatar. | Thesportsrush.com
World Cup 2022 Qatar. | Thesportsrush.com

Sistem Kafala dan Tumbal 6.500 Pekerja

Ternyata, polemik tidak hanya berhenti sampai di sana. Negeri saudagar minyak itu juga memiliki catatan buruk terhadap hak asasi manusia (HAM), terkait buruh migran yang terlibat pada pembangunan arena World Cup.

Pada Oktober 2017, Konfederasi Serikat Pekerja Internasional mengumumkan kesepakatan Qatar dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) untuk secara substansial mereformasi Kafala.

Sejak saat itu, otoritas Qatar melakukan beberapa reformasi. Namun, perubahan itu tidak cukup efektif. implementasinya pun tidak merata. Dan, faktanya, sistem Kafala masih marak dijumpai.

Kafala ialah sebuah sistem yang dipakai untuk mengawasi para pekerja migran yang lazimnya bekerja sebagai tukang bangunan atau pembantu rumah tangga di negara-negara Arab, termasuk Qatar.

Sistem itu mewajibkan seluruh tenaga kerja tidak terlatih mempunyai sponsor (majikan) yang bertanggung jawab atas dokumen dan status hukum mereka.

Praktik tersebut kerap kali dikritik oleh organisasi pemerhati HAM sebab dapat melanggengkan eksploitasi para buruh. Banyak majikan yang 'menyita' paspor, lantas memperlakukan mereka dengan amat buruk tanpa konsekuensi hukum.

Kafala menyebabkan para buruh migran dalam posisi lemah karena paspor serta dokumen krusial lainnya dikuasai pihak sponsor sehingga mereka tidak mungkin pindah kerja tanpa restu dari majikan.

Akibatnya, majikan atau sponsor kerap memperlakukan buruh migran dengan semena-mena. Mereka tidak akan bisa melarikan diri dari perlakuan buruk.

Menurut data dari Human Rights Watch, Qatar memiliki angkatan pekerja migran lebih dari dua juta jiwa, yang mencakup 95% dari total angkatan kerja. Ada sekira satu juta di antaranya yang bekerja dalam bidang konstruksi.

Oleh sebab itu, pemerintah Qatar tidak tampak menyikapinya dengan terlalu serius. Pasalnya, sebagian besar buruh bukan warga Qatar yang sudah terlahir sultan sejak dalam kandungan.

Amnesty International turut melaporkan bahwa telah terjadi eksploitasi terhadap buruh migran yang membangun fasilitas Piala Dunia seperti Khalifa Stadium.

Latha Bollapally dan putranya Rajesh Goud, memegang foto suaminya, Madhu Bollapally, 43, pekerja migran yang tewas di Qatar. | Kailash Nirmal TheGuardian.com
Latha Bollapally dan putranya Rajesh Goud, memegang foto suaminya, Madhu Bollapally, 43, pekerja migran yang tewas di Qatar. | Kailash Nirmal TheGuardian.com
Kondisi pekerja di tempat penampungan teramat mengenaskan. Mereka mungkin lebih pantas untuk disebut dengan budak dibanding pekerja. Mereka dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan bahwa mereka telah digaji dengan layak kendati pada kenyataannya tidak demikian.

Amnesty International mengungkapkan fakta-fakta mengejutkan antara lain:

#1. 79 persen pekerja membayar ongkos rekrutmen kepada entitas sponsor yang mana terlalu tinggi, sehingga tak jarang dianggap utang yang perlu dibayar oleh buruh kepada majikannya.

#2. Pihak kontraktor kerap tak memberi hari libur kepada buruh migran. Bahkan, dijumpai pekerja yang tidak pernah libur selama hampir 5 bulan.

#3. 25 persen pekerja takut melaporkan masalah kesehatan, nasib, serta faktor keselamatan kerja akibat takut dipecat.

#4. Ada empat dari sepuluh kontraktor mengaku telah menyita paspor pekerja migran, dan itu termasuk pelanggaran.

Ada lebih dari 6.500 pekerja migran dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka telah meninggal di Qatar sejak memenangkan hak menjadi tuan rumah Piala Dunia sepuluh tahun silam, seperti yang dilaporkan oleh The Guardian.

Data itu didapatkan dari sumber-sumber internal pemerintah. Artinya, rata-rata dua belas pekerja migran telah meregang nyawa setiap minggunya sejak Desember 2010 tatkala jalan-jalan di Doha dipenuhi dengan kerumunan sultan yang menari-nari saat merayakan kemenangan Qatar.

Jumlah korban tewas sejatinya bisa lebih tinggi dari angka-angka itu sebab belum termasuk kematian dari beberapa negara yang mengirim pekerja ke Qatar, seperti Filipina dan Kenya. Angka kematian yang terjadi pada bulan-bulan terakhir periode tahun 2020 juga belum tercatat.

The Guardian juga mengungkap kurang adanya transparansi dalam pencatatan kematian buruh di Qatar. Kedutaan besar di Doha dan pemerintah negara pengirim tenaga kerja enggan membeberkan data, kemungkinan lantaran alasan politik.

Temuan tersebut mengungkap kegagalan Qatar dalam melindungi dua juta tenaga kerja migrannya. Mereka juga telah gagal menyelidiki pemicu dari tingginya kasus kematian di antara pekerja yang sebagian besar berusia muda.

Timnas Jerman melakukan aksi protes. Sumber: note.com
Timnas Jerman melakukan aksi protes. Sumber: note.com
Di balik data itu terdapat banyak kisah mengenai keluarga yang hancur akibat ditinggalkan oleh anggota keluarganya yang menjadi tulang punggung.

Para pesepak bola pun turut mengecam maraknya pelanggaran HAM terhadap persiapan Qatar sebagai penyelenggara. Mereka beramai-ramai menggelar aksi simbolik sebagai wujud perlawanan pada Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Eropa. 

Timnas Inggris, Norwegia, Jerman, dan Belanda memprotes pelanggaran HAM pekerja asing di negara tajir melintir itu dengan mengenakan kaus khusus yang bertuliskan "Human Rights".

Meski aroma anyir sudah tercium sejak awal dan mereka telah dihujani dengan berbagai polemik, ironisnya, hingga kini belum ada wacana untuk mengevaluasi ulang pelaksanaan Piala Dunia di negeri para sultan tersebut.

FIFA menegaskan bahwa mereka masih berkomunikasi "seperti biasa" dengan komite pelaksana di Qatar. Semua masih berjalan normal. Tak satupun kekuatan manusia yang mampu menjegal mereka saat ini– lantaran sumber daya minyak mereka yang tak terbatas.

Mungkin nanti "kehendak" Tuhan yang akan secara langsung "menegur" Qatar atas semua tindakan kejam dan semena-mena mereka terhadap kaum buruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun