Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Polisi Virtual, Edukasi atau Pengekangan?

27 Februari 2021   06:46 Diperbarui: 28 Februari 2021   13:50 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi polisi virtual (virtual police). | The Hindu via kompas.com

Sejatinya kehadiran polisi virtual akan menempatkan setiap netizen Indonesia dalam pengawasan ketat. Kaberadaan mereka bisa semakin membuat orang takut sebab akan selalu dipantau polisi saat hendak menyampaikan pendapat.

Secara teknis, polisi virtual akan terus memantau perilaku warganet di media sosial dan melaporkan ke atasan kalau menemukan konten yang mereka nilai berpotensi melanggar UU ITE. Setelah itu, konten tersebut bakal dimintakan pendapat ke sejumlah ahli, seperti ahli pidana, bahasa, dan ITE.

Sementara itu, dalam eksekusinya, kita tidak akan pernah tahu, apakah mereka betul-betul meminta rekomendasi dari para ahli terkait atau hanya didasarkan pada penafsiran mereka sendiri tatkala menilai konten yang dijadikan target.

Oleh karena itu, sebaiknya mereka juga memberikan akses kepada masyarakat bahwa tiap keputusan atau penindakan yang telah mereka lakukan betul-betul dilandaskan pada prosedur serta hasil pendapat dari para ahli terkait. Dengan bahasa lain, harus ada transparansi.

Selain itu, dibutuhkan penjelasan lebih terperinci tentang kriteria atau batasan-batasan bagi polisi saat melabeli konten di medsos yang dinilai melanggar. Jika tidak, adanya virtual police hanya akan memperburuk "bias" yang sebelumnya telah ditimbulkan pasal karet UU ITE.

Terlebih lagi, penerapan UU ITE selama ini terkesan cherry picking alias tebang pilih. Tajam ke oposisi dan rakyat jelata, tetapi kerap tumpul ke koalisi dan orang kaya. Dan, kejadian semacam itu sudah banyak sekali contohnya.

Kalau hal itu terus terjadi, polisi virtual akan menjadi sumber dari ketidakadilan baru. Alih-alih menciptakan kamtibmas di masyarakat, hal itu justru melahirkan situasi yang tidak aman dan tidak tertib, setidaknya bagi kalangan tertentu.

Polri harus memastikan bahwa petugas harus mengedepankan edukasi, bukan sebagai momok yang akan menghukum setiap warga yang 'tidak patuh' dengan dalih menyehatkan ruang diskusi.

Kehadiran UU ITE sejatinya sudah cukup membuat rakyat terkekang dan terkebiri hak-haknya dalam menyuarakan opini. Penangkapan para aktivis, jurnalis, dan warga sipil, mengirimkan sebuah pesan bagi seluruh rakyat, dari Sabang sampai Merauke, bahwa itulah konsekuensinya jika kita berani 'mengusik' pemerintah.

Para penyintas UU ITE yang tergabung dalam Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE), mengungkapkan, tiga pihak yang acapkali meminjam pasal karet dalam beleid itu untuk melaporkan seseorang.

Tiga pihak tersebut, menurut Paku ITE, adalah pemerintah atau pejabat negara, pemodal atau pengusaha, dan penegak hukum. Ketiga pihak tersebut diperoleh dari hasil pengakuan orang yang pernah diseret ke penjara lantaran dinilai telah melanggar beleid karet tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun