Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Damir Desnica, Seniman Sepak Bola yang "Mendengar" dengan Kakinya

4 Desember 2020   20:15 Diperbarui: 2 Desember 2021   20:09 1466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Damir Desnica, eks pemain sayap HNK Rijeka (Kroasia). | fr.besoccer.com

"Tuhan mengambil pendengaran saya, tetapi memberi saya bakat. Dan kecintaan pada sepak bola." -Damir Desnica

Andai bisa memilih, tidak seorang pun yang ingin terlahir dengan kekurangan, baik secara materi, fisik, maupun mental.

Di luar jalan takdir yang telah digariskan oleh Sang Penguasa alam semesta, setiap manusia akan berharap agar kehidupan sosialnya tak dilungkupi dengan berbagai kemalangan dan keterbatasan.

Keresahan itu yang lantas melahirkan prinsip di dalam tatanan masyarakat, bahwa supaya tidak kekurangan secara materi, kita diharuskan untuk bekerja.

Begitu pula dengan aspek manusia yang paling fundamental, yakni jasmani dan rohani. Sejak kecil kita diajarkan untuk menjaga pola hidup sehat dan berpikiran positif agar kondisi fisik dan mental kita senantiasa prima.

Namun, tidak semua orang dianugerahi dengan kondisi yang sempurna. Apabila kekurangan materi masih bisa diperbaiki, lain halnya dengan keterbatasan fisik dan mental, yang akan dibawa seumur hidup.

Sebagian orang terlahir dengan kondisi yang tidak beruntung. Mereka tak dapat memilih takdirnya sendiri. Tidak pula memiliki pilihan selain menerima apa yang sudah digariskan.

Setidaknya kondisi itu yang dirasakan oleh Desnica kecil. Kesempurnaan tidak pernah berpihak kepadanya sedari kaki-kaki mungil itu menapak di muka bumi untuk pertama kali.

Damir Desnica lahir 63 tahun silam atau tepatnya pada 20 Desember 1956, dari rahim seorang ibu berkewarganegaraan Republik Sosialis Federal Yugoslavia atau yang hari ini kita kenal dengan Kroasia.

Beberapa saat usai ia menginjak tahun pertamanya, kedua orang tua Desnica curiga ada yang berbeda dengan buah hatinya itu. Desnica kecil sama sekali tidak bereaksi terhadap suara.

Ternyata kondisi gangguan pendengaran sejak lahir atau yang juga dikenal dengan tuli kongenital yang dialami oleh Desnica juga diderita oleh kedua orang tuanya.

Di kota kelahirannya, Obrovac, karena disabilitasnya itu, anak-anak bahkan lari darinya. Mereka menolak untuk bergaul dengannya. Desnica acapkali dijauhi. Dia menjadi objek ejekan teman-temannya.

Kedua orang tuanya yang menyadari keterbatasan Desnica bisa menghambat perkembangan kognitif dan sosialnya di masa depan pun mencari bantuan agar ia mendapatkan pendidikan yang layak.

Kala itu ia memperoleh bantuan di usia yang sudah menginjak tujuh tahun pada 1963. Desnica dibawa ke kota Zagreb untuk menuntut ilmu di sekolah luar biasa. Dia tinggal dan belajar bersama anak-anak dengan kondisi serupa.

Di Zagreb ia menghabiskan waktu untuk bermain dan belajar di sekolah. Uniknya, ada satu hal yang sangat sulit dipisahkan dari Desnica, yakni bola. Baginya, si kulit bundar sudah seperti organ tubuhnya.

Setelah lulus dari sekolah dasar, Desnica hijrah ke Rijeka di mana ia mendaftar di sekolah menengah khusus tunarungu dan tunawicara. Sepak bola merupakan pelarian terbaiknya atas perlakuan tidak menyenangkan yang ia dapatkan.

Kecintaannya pada sepak bola membawa Desnica bermain untuk Elektroprimorje di usianya yang baru menginjak 16 tahun pada 1972. Sebuah klub gurem di Rijeka yang diisi oleh para pemain normal.

Setahun berselang, bakat besarnya mulai diendus oleh klub raksasa yang bersaing di divisi teratas Kroasia (HT Prva liga), HNK Rijeka. Di klub yang pernah dibela oleh Andrej Kramaric tersebut namanya mulai dikenal. Ia mampu menunjukkan performa terbaiknya.

Dalam sebelas tahun kariernya (1974-85) di Rijeka, capaian Desnica terasa begitu mengagumkan, mengingat keterbatasan yang ia miliki. Berperan sebagai pemain sayap, dia mencatatkan 251 penampilan dan sukses mencetak 54 gol.

Desnica merupakan bagian penting dari kesuksesan Rijeka pada era 80-an. Dia sukses mengantarkan klubnya menjuarai dua Piala Yugoslavia (1978 & 1979) dan satu Piala Balkan (1978). 

Dalam sejarah Rijeka, tidak ada pemain yang lebih dicintai oleh para penggemar selain Desnica, pemain sayap kiri yang cepat dan sulit dihentikan. Meskipun tuli sejak lahir, ia menjadi salah satu pemain terbaik Rijeka sepanjang masa.

Lantas apa yang membuat Desnica bisa bermain sama baiknya dengan pemain normal di luar sana?

Secara teknis ia sangat mumpuni. Tidak ada yang berbeda dengan pemain pada normalnya. Desnica sangat gesit. Dirinya bukan tipe pemain ortodoks yang hanya menunggu di sisi sayap, tetapi pemain yang bisa menusuk langsung ke jantung pertahanan lawan. Terlebih lagi, ia juga memiliki teknik, dribble, dan visi brilian.

Meski tunarungu, ia mengaku dirinya bisa merasakan lapangan, permainan, dan pergerakan semua pemain. Dalam sedetik dia menyadari apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

Kutipan Damir Desnica. | Goal.com
Kutipan Damir Desnica. | Goal.com
Pria yang kini berusia 63 tahun itu tidak bisa mendengar, tetapi penglihatannya berkembang dengan sempurna. Ia juga mampu mendeteksi getaran di lapangan dan berbagai detail kemampuan khusus lebih baik dari pemain lain.

Sebuah studi yang dipimpin oleh peneliti asal Kanada, Profesor Stephen Lomber, menunjukkan orang dengan gangguan pendengaran memiliki kemampuan lebih baik pada indera penglihatan mereka.

Hasil penelitian yang diterbitkan Nature Neuroscience itu juga menemukan, orang tuli memiliki gangguan di area otak yang berhubungan dengan pendengaran perifer akan mengalami peningkatan di daerah otak lain, yaitu peripheral vision atau penglihatan periferal.

Hal itu membuat mereka memiliki indera penglihatan yang lebih tajam ketimbang orang normal. Dengan memanfaatkan penglihatan periferal, orang tunarungu mampu mengetahui sinyal-sinyal, gerak tangan, dan ekspresi yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara dia berkomunikasi dan menangkap setiap instruksi pelatih dan rekan setimnya?

Bisa jadi sang pelatih, Miroslav Blazevic, mengerti bahasa isyarat. Tidak menutup kemungkinan ada cara sederhana lain untuk menerjemahkan ide dan strategi sehingga mudah dipahami oleh Desnica.

Terkait komunikasi di lapangan, Desnica mungkin sedikit terhambat karena tidak dapat mendengar teriakan dan instruksi selama bertanding, tetapi saya meyakini ia mampu mengatasinya melalui visi dan penglihatan periferal cemerlang yang ia miliki sebagai pesepak bola spesial.

Saat harus mengikuti instruksi, Desnica menjelaskan, "Saya tak pernah memiliki permasalahan komunikasi dengan rekan satu tim karena saya bisa membaca gerak bibir mereka." Dia tidak perlu diberi tahu apa yang harus dilakukan, sebab Desnica paham cara terbaik untuk mendatangkan malapetaka di area penalti lawan.

Sejatinya Desnica tidak sendirian. Dalam atmosfir laga yang dipenuhi riuh sorak-sorai pendukung di tribun, suara antara pemain dan pelatih akan sulit didengar. Dalam konteks itu semua pesepak bola sama. Mereka semua merasakan betapa sulit berkomunikasi dalam situasi itu.

Selain tunarungu, ia juga tunawicara. Namun, hambatan terbesarnya sebagai pesepak bola lebih banyak disebabkan karena keterbatasan Desnica dalam hal pendengaran seperti apa yang menimpa dirinya kala bersua Real Madrid di ajang UEFA Cup musim 1983/84.

Skandal paling kontroversial di dunia sepak bola terjadi dalam laga tersebut. Desnica mendapat perlakuan tidak adil dari wasit asal Belgia, Roger Schoeters, yang memimpin laga. Akibat insiden itu pula akhirnya Schoeters dicekal seumur hidup oleh UEFA.

Damir Desnica diganjar kartu merah (akumulasi 2 kartu kuning) dalam laga versus Real Madrid di UEFA Cup 1983/84 karena dianggap protes berlebihan kepada wasit meski ia tuna rungu dan tuna wicara. | Marca.com
Damir Desnica diganjar kartu merah (akumulasi 2 kartu kuning) dalam laga versus Real Madrid di UEFA Cup 1983/84 karena dianggap protes berlebihan kepada wasit meski ia tuna rungu dan tuna wicara. | Marca.com
Desnica diganjar 2 kartu kuning secara beruntun dalam waktu yang berdekatan. Kartu kuning pertama ia terima karena terus bermain meskipun Schoeters telah meniup peluit akibat terjadi pelanggaran untuk El Real. Sementara kartu kuning kedua dikeluarkan dengan alasan yang terlampau absurd. Ia dinilai melakukan protes terlalu berlebihan.

Kartu kuning pertama mungkin sedikit masuk akal, karena sekalipun Desnica tuli, ia bisa melihat gerak tangan wasit sebagai isyarat terjadinya pelanggaran. Pemberian kartu kuning keduanya yang menjadi persoalan. Bagaimana mungkin seorang tunawicara mampu melakukan protes verbal sehingga membuat wasit tersinggung? Tentu sangat sulit dicerna akal sehat!

"Saya dikeluarkan secara tidak adil dan dia (wasit) menggunakan semua teknik yang mungkin guna menghentikan kami menang." Tulis Desnica kepada Cadena.

Usai diusirnya Desnica, El Real berhasil mencetak dua gol yang dibutuhkan guna menyingkirkan Rijeka. Akhirnya, mereka melenggang mulus dengan agregat 4-3 dan keluar sebagai juara usai membekuk klub asal Hungaria, Videoton 2-0.

Demir Desnica memang cukup asing bagi publik sepak bola. Namanya tidak tercatat dalam daftar pesepak bola elite dunia. Namun, riwayat hidupnya mengandung kisah yang selalu layak untuk dituturkan.

Meski memiliki keterbatasan, semangat Desnica untuk mengejar mimpi tidak pernah surut. Ia telah membuktikan diri bahwa kekurangan yang dimilikinya tak bisa membatasinya guna meraih prestasi.

Pada akhirnya sepak bola adalah bahasa universal. Tak harus mampu mendengar serta mengucap untuk memahaminya, bahkan memainkannya seperti Desnica.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun