Mohon tunggu...
Izzuddin Muhammad
Izzuddin Muhammad Mohon Tunggu... Freelancer - hamba Allah

penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertimbangkan Kembali Usulan Sertifikasi Ulama

7 Maret 2019   09:09 Diperbarui: 7 Maret 2019   09:18 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya akhir-akhir ini sangat banyak isu akademik yang mencuat di publik, sayangnya isu tersebut digoreng dengan kepentingan politik. Alhasil, perdebatan isu yang terjadi hanya sebatas debat kusir yang tidak menemukan satu titik kejelasan. Pernyataan Rocky Gerung "kitab suci adalah fiksi" merupakan salah satu isu yang seharusnya bisa membuat anak bangsa makin berpikir kritis. Namun lagi-lagi isu tersebut digunakan untuk kepentingan politik.

Termasuk isu terminologi "kafir dan non muslim" yang akhir-akhir ini ramai jadi topik pembahasan. Harusnya kemunculan polemik ini dapat merangsang pikiran kritis orang banyak, khususnya yang bearagama Islam. Tapi lagi-lagi kepentingan politik menyerang dan membuat semuanya jadi tidak asyik.

Nah, karena asalan itu saya menahan diri untuk tidak ikut berbicara terkait "kafir non muslim" ini. Tapi ada satu hal yang membuat saya merasa berdosa jika tidak membicarakan ini. Adalah ketika dua orang ustadz terkenal yang saya rasa melakukan sedikit kesalahan ketika membahas kata "kafir". Kesalahan itu berkaitan dengan aspek bahasa Arab. Sebagai seorang santri yang mondok 6 tahun dan mahasiswa akhir di jurusan sastra Arab, izinkan saya untuk memberikan sedikit pandangan terkait kesalahan dua ustadz tersebut.

Ustadz yang pertama berinisial HH. Ketika diwawancarai oleh salah satu stasiun TV swasta, ia menjelaskan perbedaan makna  Kaafir dan  Kuffaar. Beliau mengatakan bahwa orang-orang kafir dan kuffar itu berbeda. Kafir adalah orang-orang yang tidak mempercayai Allah dan nabi Muhammad SAW. Sedangkan kuffar adalah orang menyerang "Allah dan nabi Muhammad SAW", yang dimaksud di sini yaitu Islam.

Setahu saya lafadz kafir dan kuffar dalam perspektif bahasa Arab hanya berbeda bentuk singular dan plural, mufrad dan jama', kafir itu bentuk mufrad (singular) sedangkan kuffar itu bentuk jama'(plural)nya. 

Dan keduanya berasal dari akar kata yang sama. Bentuknya pun sama yakni "Isim fil", sebuah bentuk dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti pelaku dari sebuah pekerjaan. Menulis ya isim fil nya penulis, membaca ya pembaca, dst. Entah bagaimana ceritanya bisa diartikan cukup berbeda oleh sang ustadz.

Lalu ustadz yang kedua berinisial TZ, dalam sebuah kajian dimana ia menjadi penceramah, sang ustadz juga membahas tentang kafir. Kata beliau kafir itu berasal dari kafaro-yukaffiru-kufron. Perlu diketahui bahwa dalam bahasa Arab ada pola derivasi kata yang sering disebut dengan istilah  tasrif. Bagi orang-orang yang memahami ilmu tasrif ini pasti tahu bahwa yang dituturkan oleh ustadz TZ itu keliru. Tasrif yang benar ya kafaro-yakfuru-kufron (Al-Munawwir, 1997: 1217).

Banyak pihak yang memperbesar kesalahan dua ustadz kenamaan ini. Bahkan ada yang cukup ekstrem dengan menganggap bahwa ustadz TZ tidak bisa nahwu-shorof. Padahal kan belum tentu juga. Siapa tahu beliau sedang keseleo lidah. Persis seperti beberapa santri yang grogi ketika ujian tasrif di hadapan ustadznya.

Namun seandainya benar kedua ustadz tersebut tidak menguasai ilmu nahwu-shorof (ilmu dasar gramatika bahasa Arab), saya rasa itu adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal. Menurut hemat saya seorang ustadz, muballigh, harus menguasai dasar-dasar bahasa Arab karena sumber utama ajaran agama Islam kan menggunakan bahasa Arab. Kalau mereka berdakwah bermodal kitab terjemahan berbahasa Indonesia itu kan jadinya interpretasi si penerjemah.

Tiba-tiba saya teringat lagi dengan blunder seorang ustadz yang menyuruh seorang jama'ah membuka Surat Al-Isra ayat 176, padahal kan surat Al-Isra Cuma sampai ayat 111. Lalu dengan gamblang beliau mengakui sebagai mantan preman, mantan maling, ngga paham kitab kuning, kitab gundul, dan ditutup dengan sebuah pernyataan yang bikin saya meringis "emang gue pikirin."

Mudahnya mendapat julukan ustadz

Diakui atau tidak, mendapatkan label ustadz di Indonesia dewasa ini tidak lah sulit. Bukan lagi background akademik yang jadi indikator utama, tapi tampilan luar dan kemampuan berbicara di atas podium. Bermodal janggut, pakaian gamis, hafal satu-dua ayat, dan bisa menjelaskan suatu tema dengan meyakinkan, percayalah akan ada sebagian orang yang menganggapnya sebagai seorang ustadz.

Bahayanya adalah ketika ustadz seperti ini makin menjamur akan seperti apa wajah dakwah Islam di Indonesia? Mungkin mereka berdakwah dengan dalil sampaikan lah walau 1 ayat. Ya kalau paham tentang seluk beluk ayat itu mah ngga apa-apa, tapi ini baru tahu terjemahannya saja, tanpa tahu asbab an-nuzulnya, ngga paham konteks ayat, lantas langsung berdakwah. Saya khawatir ustadz macam ini bisa menyesatkan dirinya dan jama'ahnya.

Jika iklim dakwah sudah seperti ini nampaknya sertifikasi ulama yang dulu pernah dicanangkan Kementrian Agama-dan dikecam banyak pihak-perlu untuk dipertimbangkan lagi.

 Agar mereka yang diberikan label ustadz atau ulama merupakan orang-orang yang memang berkompetensi untuk berdakwah, utamanya dari segi pengetahuan agama.

Fungsi negara di sini bukan untuk mengekang dan membatasi dakwah Islam, namun meminimalisir munculnya ustadz-ustadz minim pengetahuan yang nyaman berdakwah dengan keilmuannya yang bisa jadi masih kalah dengan santri kelas 1 MTs. Arab Saudi pun sudah memberlakukan sertifikasi ulama, meskipun tujuannya adalah untuk meminimalisir radikalisme, Indonesia bisa saja mengadopsi langkah itu namun disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di tanah air.

Selain itu sebagai warga negara seharusnya kita bisa bijak dalam menilai seseorang layak disebut ustadz atau tidak. Saya teringat wasiat guru besar kami di Lombok, Almagfurullah TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam kitab beliau "Nadzhom Batu Ngompal"

Belajar olehmu tajwid yang sohih

Karena Qur'an turunnya fasih

Jangan membaca bacaan qobih

Takut ancaman hadis yang sohih

Rajin berguru pada ahlinya

**

Baca olehmu bacaan jibrila

Jangan membaca bermain gila

Firman ilahi di dalam tanzila

Warottilil qur'ana tartila

Rajin berguru pada ahlinya

**

Jaranglah pandai membaca qur'an

Kebanyakan asyik tidak karuan

Malu berguru tajwidnya qur'an

Besar kepala takut teguran

Rajin berguru pada ahlinya

**

Ayo hai saudara ayo hai saudari

Tuntutlah ilmu setiap hari

Jangan bermegah kesana kemari

Agar selamat belakang hari

Rajin berguru pada ahlinya

 

Semoga Allah mengampuni dosa kita semua

Jogja, 7 Maret 2019

08:30 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun