Tak kenal kopi Kapal Api, bahkan sampai pergi merantau. Akhirnya mengenal juga kopi Kapal Api sachetan bubuk, sederhana, gampang ditemukan saat ingin minum kopi.Kalau mengutip tulisan di google ada perubahan sejarah kopi, diawali dengan first wave, second wave, third wave, ternyata gampang, sayapun melewatinya.
First wave adalah tiba-tiba ingin mencoba kopi yang diseduh Papah, tidak membuatnya, minta cicip tinggal minum walaupun sisa sesapan beliau ha...ha...ha...Beliaupun mengakalinya pakai susu ya biar sehat. Mama yang buatin, ambil susu, ambil kopi dan gula, air panas, aduk,...setiap pagi tersedia, enak.Â
Setelah merantau ya seduh sendiri kopi Kapal Apinya, atau simplenya pergi ke warung Indomie, sehabis makan Indomie telur, ya dilanjutkan ritual minum kopi hitam, kopi pakai susu, standar harga anak kuliahan.Â
Ya ini fenomena First Wave bagi saya, bahkan di duniapun dikenal jauh sebelum saya mengenal kopi, kopi sangrai yang diciptakan sederhana, lalu dipasarkan agar gampang dikenal masyarakat seluas-luasnya. Ibaratnya Anda mau ngopi, butuh cafein, yang ada hanya ini kopi warna hitam rasanya pahit, ingin manis harus ditambah gula, seduh dengan air panas, aduk, seruput, selesai.
Masuk ke Second Wave Coffee, yaitu sejauh di mana kala itu kopi sederhana tidak sekadar kopi hitam saja, kopi disanding dengan susu, baik disteam dengan uap suhu 70 derajat Celcius akan terdevelop senyawa gulanya atau mungkin dengan susu sintetis bentuk lain, creamer, milk condensed, di sini bisa kita nikmati kopi bahan dasar espresso base diturunkan menjadi menu seperti coffe late, cappucino, mulai bermunculan di kedai-kedai yang didukung dengan suasana gaya hidup penikmat kopi menjadi sasaran.Â
Kedai,  cafe, melengkapi alat brewing  dengan mesin espresso berbagai merek. Keunggulan bermain hanya untuk mencari kesempurnaan espresso sebagai bahan dasar pembuatan menu milk base, barrista berlomba untuk menampilkan karya seni melukis di atas secangkir kopi, yaitu Latte Art, dan di sisi penikmat kopipun rela membayar mahal demi menikmati kopi berikut seni yang bertema bahkan bisa masuk ke dalam hati dan jiwa penikmat kopi itu sendiri saat menyeruputnya...
Cafe menjadi tempat berkumpul, Meet Up, tempat bekerja selain di ruangan kantor, tempat santai, dan segala aktifitas dapat dikerjakan di kedai kopi untuk mencari  suasana berbeda.Â
Bahkan pengusaha kopipun berlomba memberikan pelayanan kenyamanan yang berbeda-beda until menjawab  kebutuhan konsumennya, di sini terjawab nilai kopi sederhana zaman First Wave mulai naik kelas di zaman Second Wave. Hal negatif, kejenuhan akan menu kopi awal, diperbaiki pada zaman Second Wave.
Era Second Wave paling iconik dimulai sekitar tahun 1980 dan paling booming di zaman Starbucks tahun 2000-an gencar melebarkan sayapnya. Nah masuk ke era Third Wave yang terbilang baru, mulai ada kritikan para penikmat kopi di mana era Second Wave mulai ada penurunan kualitas kopi yang disajikan, penyalahgunaan pembuatan, penyajian, sampai-sampai...maaf...euphoria cafe barista menyimpang melakukan ritual pembuatan coffee late dan cappucino itu sendiri demi siatu art seni lukis gambar style di atas secangkir kopi tadi, berlomba-lomba merebut konsumen.Â
Namun seusai kepada penikmat, dan keluarlah pernyataan luas barista, secangkir coffee latte ini gambarnya bagus, indah, cantik, sesuai dengan kedaan hati saya yang sedang jatuh cinta kepada seseorang.Â
Hati yang tergambarkan di kopi ini memang saya tujukan ke dia, seseorang yang saya cintai...Saya foto saya kirim ke dia yang jauh di sana oooh dia senang sekali...(kunyatakan cinta kepadanya lewat secangkir coffee latte ini) mas Barista.