Saat ini, saya hanya bisa melihat halaman depan rumah. Semoga ada keajaiban untuk dapat menemukan kuncinya: "I'm just a story teller who try to form a formula for extracting meaning from chaos, just like a handful of water we scoop up to recall an ocean"
Sahabat Kompasianer, selain dunia sastra dan sejarah, rumah saya sebagian besar merupakan kepedulian, perhatian, dan minat kepada isu-isu strategis, dunia keamanan dan politik.Â
Berkat Kompasiana dan para Kompasianer, di masa jarak sosial kita, keinginan untuk kontak fisik tidak pernah begitu kuat. Kita tak tersentuh. Pengalaman ini memiliki konsekuensi yang lebih mencolok yang memiliki banyak gaung dalam literatur. Metaforis menggantikan anatomi.
Tanda kasih di masa krisis pandemi membuat kita bebas berkeliaran selama berabad-abad, untuk menciptakan, untuk menghargai kembali warisan kita di dunia kepenulisan.
Ketika ia menarik kembali tirai dan melihat ke luar, ia bisa melihatnya terpantul di jendela, versi dirinya yang menatapnya. Ia melihat melalui jendela, melihat ke dalam dirinya sendiri, dan ia melihat bahwa jalanan kosong, sepi; tidak ada kerumunan saat ini, tidak ada layang-layang dengan tulisan Indonesia, tidak ada yang kembali.Â
Ia fokus, melihat melewati dirinya sendiri, sampai matanya melihat bentuk yang jauh. Jauh di dalam kota-kota kecil, ada hiruk-pikuk pengeras suara yang menggelegar, para seleb yang gembira. Pikiran terakhirnya, sebelum ia tertidur kembali, adalah bahwa di negara baru ini, apakah ia merasa sangat kesepian?