Ketika Saya Kepincut Kompasiana, Kok Bisa?
Awalnya, saya hanya iseng membaca. Tulisan-tulisan di Kompasiana muncul di beranda media sosial saya—tentang pendidikan, kehidupan desa, pengalaman pribadi, atau bahkan kritik sosial yang dibungkus dengan gaya bertutur yang hangat. Tapi entah sejak kapan, saya mulai merasa betah membaca, lalu tergoda untuk menulis. Dan di situlah segalanya dimulai.
Saya kepincut.
Kepincut apa?
Pertama, komunitasnya yang hidup. Kompasiana bukan sekadar platform blogging biasa. Ia adalah ruang bertemu bagi para guru, penulis amatir, aktivis, pengamat politik, mahasiswa, dan siapa saja yang ingin menyampaikan sesuatu. Tulisan mereka bukan asal jadi. Ada emosi, pengalaman hidup, dan narasi yang sering kali membuat saya merasa tidak sendiri.
Kedua, kebebasan berekspresi yang terasa bertanggung jawab. Di media sosial, kadang opini bisa brutal dan bebas tanpa arah. Tapi di Kompasiana, tulisan diarahkan untuk membangun, menginspirasi, atau mendorong diskusi sehat. Kita boleh berbeda pendapat, tapi tetap dalam koridor etika dan logika.
Ketiga, dan ini yang paling menggoda, rasa memiliki. Ketika tulisan saya pertama kali dimuat, saya merasa “diakui”. Saat mendapat komentar dari pembaca lain, saya sadar bahwa tulisan saya dibaca, dipahami, bahkan dihargai. Ada semacam ruang kolaborasi yang menyenangkan. Tidak ada senioritas kaku. Semua belajar bersama, berbagi sudut pandang masing-masing.
Apa yang saya dapat dari Kompasiana?
Lebih dari sekadar menulis, saya belajar mengelola ide. Saya menjadi lebih peka terhadap isu di sekitar. Saya terdorong untuk menata alur berpikir, menyeimbangkan emosi, dan memperkuat argumen. Kompasiana bukan hanya rumah bagi tulisan saya, tapi juga cermin dari perjalanan saya menjadi pribadi yang lebih reflektif dan komunikatif.
Lalu, kok bisa kepincut?
Mungkin karena saya menemukan sesuatu yang langka: platform yang memberi ruang, bukan hanya suara. Sebuah tempat di mana kata-kata bukan sekadar status, tetapi cerita, pengalaman, bahkan warisan.