Motor: Teman Perjalanan yang Mengajarkan Arti Cukup dan Kesetiaan
Setiap pagi, saat matahari masih malu-malu menyapa dunia, saya sudah bersiap dengan jaket dan helm di tangan. Bukan untuk liburan atau pelesiran, tapi untuk satu rutinitas yang hampir tak pernah terlewatkan: berangkat ke sekolah. Di saat sebagian orang mungkin memanaskan mobil mewah atau menanti ojek daring, saya hanya butuh satu hal: motor kesayangan saya.
Motor bukanlah kendaraan baru. Usianya sudah lebih dari cukup untuk disebut “senior” di jalanan. Warnanya mulai pudar, joknya sudah tak lagi empuk seperti dulu, dan kadang ia butuh sedikit rayuan agar mau menyala di pagi hari. Tapi di balik semua kekurangannya, ada satu hal yang tak bisa saya sangkal: ia selalu ada untuk saya.
Kendaraan Roda Dua dan Simbol Kesederhanaan
Di tengah kehidupan yang makin konsumtif dan penuh gengsi, memilih kendaraan roda dua sebagai alat transportasi utama bisa jadi dianggap “biasa saja” oleh sebagian orang. Namun bagi saya, motor adalah simbol kesederhanaan yang bermakna.
Ia cukup irit, gesit, dan bisa diandalkan dalam banyak situasi: dari menembus kemacetan kota, melewati jalanan berlubang, hingga menyusuri gang-gang kecil yang tak bisa dijangkau mobil. Dalam motor, saya menemukan kebebasan untuk bergerak tanpa bergantung pada orang lain.
Kendaraan roda dua ini bukan hanya alat, tapi juga cermin nilai hidup: hidup yang tidak berlebihan, efisien, dan tetap bermakna. Ia tidak menawarkan kemewahan, tetapi menawarkan kehadiran yang konstan dalam keseharian saya.
Belajar Tentang Hidup dari Jalanan
Naik motor setiap hari bukan cuma soal berpindah tempat. Ada banyak pelajaran hidup yang saya petik dari atas jok motor itu.
Saya belajar tentang kesabaran, ketika harus menghadapi kemacetan di pagi hari. Saya belajar tentang kewaspadaan, saat harus berhati-hati melintasi jalan licin ketika hujan. Saya belajar tentang ketangguhan, saat motor harus tetap saya paksa jalan walau tubuh sedang tidak terlalu sehat.
Dan yang paling penting, saya belajar tentang rasa cukup—tentang bagaimana bahagia itu tidak harus datang dari kemewahan, melainkan dari rasa syukur atas apa yang kita punya.