Tepat pada tanggal 25 Juni, bangsa Indonesia memperingati hari kelahiran seorang putra terbaik negeri ini: Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden ketiga Republik Indonesia, yang lebih dikenal sebagai B.J. Habibie. Lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, tahun 1936, Habibie bukan sekadar seorang kepala negara, melainkan juga simbol kejernihan intelektual, semangat teknologi, dan komitmen terhadap pendidikan sebagai jalan menuju peradaban. Di tengah zaman yang terus berubah, peringatan ini adalah momen penting untuk merenungkan kembali kontribusinya yang melampaui sekadar pencapaian politik.
Pendidikan sebagai Pondasi Kecemerlangan
Habibie kecil adalah sosok yang sudah akrab dengan disiplin, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, dan dorongan kuat dari orang tuanya untuk belajar. Sejak muda, ia menunjukkan kecerdasan luar biasa dan hasrat besar terhadap matematika dan fisika. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Indonesia, ia melanjutkan studinya ke Jerman di mana ia menempuh pendidikan teknik di Technische Hochschule Aachen (TH Aachen), dan meraih gelar doktor di bidang teknik penerbangan dengan spesialisasi konstruksi pesawat.
Apa yang membedakan Habibie dari banyak intelektual lainnya adalah keyakinannya bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya untuk dikuasai, tetapi harus dikembangkan demi kemaslahatan masyarakat luas. Ia menjadikan pendidikan bukan hanya sebagai tangga pribadi untuk naik kelas sosial, melainkan sebagai tangga kolektif menuju kemandirian bangsa. Warisan pemikirannya menunjukkan bahwa pendidikan harus bersifat integral, memadukan nilai-nilai budaya, kedisiplinan, dan inovasi sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Teknologi sebagai Jalan Kemandirian
Habibie layak dikenang sebagai Bapak Teknologi Indonesia bukan semata karena gelar kehormatan, melainkan karena keberaniannya mendobrak batas. Selama bertahun-tahun bekerja di perusahaan industri penerbangan Jerman seperti Messerschmitt-Blkow-Blohm (MBB), Habibie menunjukkan keahlian luar biasa dalam rekayasa struktur pesawat. Ia memperkenalkan "Teori Habibie", yaitu konsep crack progression yang menjadi acuan penting dalam dunia teknologi dirgantara internasional.
Saat kembali ke Indonesia atas panggilan Presiden Soeharto, Habibie tidak hanya membawa ilmu, tetapi juga visi industrialisasi bangsa berbasis teknologi tinggi. Ia mendirikan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), serta mengembangkan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang kemudian menjadi PT Dirgantara Indonesia. Cita-cita besarnya diwujudkan dalam proyek N250 Gatotkaca, pesawat buatan anak bangsa yang sukses mengudara pada 10 Agustus 1995.
Meskipun program ini kemudian terhenti karena krisis ekonomi dan tekanan internasional, warisan Habibie tetap hidup: ia menunjukkan bahwa Indonesia bisa mencipta, bukan hanya membeli. Bahwa bangsa ini bisa mandiri, selama kita percaya dan berinvestasi pada talenta anak-anak muda dan teknologi dalam negeri.
Inovasi dan Keberanian Melangkah Maju
Habibie dikenal sebagai pemimpin yang berani mengambil risiko dan menjunjung tinggi keterbukaan. Ketika menjabat sebagai Presiden ke-3 RI pada masa transisi pasca-Orde Baru, ia memperkenalkan sejumlah reformasi penting termasuk kebebasan pers, liberalisasi politik, dan reformasi birokrasi yang menjadi fondasi penting bagi demokrasi Indonesia saat ini.