Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Bagaimana Orangtua Memposisikan Anak sebagai Aset atau Investasi?

21 November 2020   07:24 Diperbarui: 28 Februari 2021   18:43 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak bermain. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Jika direnungi, sejatinya tujuan akhir dari sekolah hingga perguruan tinggi untuk apa? Jawaban konvensionalnya, agar mudah dapat pekerjaan dan uang/gaji sebagai imbalannya. Untuk apa? memenuhi kebutuhan dasar dan kelangsungan hidup keluarganya kelak.

Jika demikian tujuan dasarnya, maka perlu mereformasi ulang mengenai pemikiran dan keyakinan soal pentingnya sekolah relevansinya dengan penyiapan diri anak dalam menyongsong kelangsungan hidup dan kenidupan mereka dikemudian hari.

Saya pernah bertanya pada anak muda di sebuah kampung yang masyarakatnya relatif sejahtera karena lingkungan dan lahan sawah-ladangnya yang subur. Kenapa tidak melanjutkan sekolah setelah tamat SMP? Jawabnya singkat, gak ada waktu karena harus mencari rumput untuk pakan ternak sapi milik orang tua dan permintaan para tetangganya.

Setelah ditelisik lebih dalam, pendapatan mencari rumput sudah mampu memenuhi kebutuhan bulanan untuk bayar kredit motor, beli pulsa, biaya penampilan, hingga kebutuhan jajan (nongkrong sambil ngopi + rokok) dengan kawan sepermainannya.

Fenomena tentang profil anak putus sekolah di atas juga sama ceritanya, meski lokasi daerahnya tidak jauh dari ibukota kabupaten, propinsi, bahkan ibu kota negara. Khususnya daerah yang dijadikan pusat pengembangan industri rumah tangga (home industry).

Anak Sebagai Investasi

Beda halnya jika anak diposisikan sebagai investasi. Meski prestasi sekolah anak pas-pasan bahkan tidak memenuhi standar nilai yang ditetapkan sekolah, tetapi orang tua akan tetap menganjurkan/memaksa sekolah, berapapun konsekwensi biaya yang harus dikeluarkan.

Tanpa disadari, keberadaan anak menjadi korban ego dan kemauan orang tua. Anak kemudian diarah-arahkan sesuai kemauan orang tua, mengikuti berbagai jenis kursus, yang pada dasarnya anak dipaksa mengikuti keinginan dan harapan orang tua.

Proses belajar anak dikontrol dengan pengawasan secara berlebihan, berupaya melengkapi seluruh kebutuhan sekolah, pembatasan jam bermain, hingga anak kehilangan masa kecilnya yang seharusnya ceria dan bahagia selama proses pertumbuhan dan perkembangannya.

Pilihan sekolahpun harus sesuai keinginan/selera dengan segala pertimbangan subyektif orang tua. Bila perlu, orang tua mendekati guru wali kelas, dengan maksud "menitipkan" hingga meminta perbaikan nilai raport anaknya.

Orang tua dengan cara pandang konvensionalnya, masih meyakini, bahwa dengan sekolah hingga kuliah berikut ijazah yang diraihnya, kelak akan mudah dapat pekerjaan. Meski, dalam kenyataannya gaji yang diperolehnya ternyata kalah jumlah jika dibandingkan dengan pendapatan kawannya yang hanya lulus SMP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun