Pendahuluan
Masa remaja merupakan periode penting dalam siklus hidup manusia yang ditandai dengan perubahan fisik, psikologis, serta sosial yang sangat cepat. Pada fase ini, tubuh memerlukan asupan gizi yang lebih besar serta berkualitas untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan optimal. Akan tetapi, kenyataannya masih banyak remaja yang mengabaikan pola makan sehat, sehingga berisiko mengalami masalah gizi, baik kekurangan maupun kelebihan. Kondisi tersebut dapat berdampak jangka panjang terhadap kesehatan mereka, termasuk menurunkan kualitas hidup ketika dewasa nanti.
Kesadaran akan pentingnya gizi menjadi faktor utama dalam membentuk generasi yang sehat dan produktif. Pengetahuan gizi yang memadai mampu memengaruhi perilaku serta kebiasaan makan remaja. Aulia (2021) menegaskan bahwa pengetahuan gizi berkaitan erat dengan kecukupan energi, status gizi, serta sikap remaja terhadap pola makan sehat. Dengan kata lain, tanpa pemahaman yang cukup, remaja berpotensi salah dalam menentukan pola konsumsi sehari-hari.
Selain aspek pengetahuan, gaya hidup modern dan pengaruh lingkungan juga memengaruhi pola makan remaja. Konsumsi makanan cepat saji yang tinggi kalori namun miskin zat gizi semakin populer, sedangkan asupan sayur, buah, dan sumber zat gizi mikro sering terabaikan. Jika pola ini berlanjut, remaja berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti obesitas, anemia, hingga penurunan konsentrasi belajar. Oleh sebab itu, peran gizi dalam menjaga kesehatan fisik maupun mental remaja perlu dikaji lebih mendalam, termasuk dengan melibatkan aspek edukasi dan lingkungan.
Pembahasan
Pengetahuan gizi berperan penting dalam menentukan pola makan remaja. Mereka yang memiliki pemahaman baik lebih cenderung memilih makanan bergizi dibandingkan remaja dengan pengetahuan terbatas (Aulia, 2021). Hal ini bukan hanya terkait jumlah energi yang masuk, melainkan juga kualitas makanan. Karena itu, literasi gizi harus ditingkatkan secara berkelanjutan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun kampanye kesehatan di masyarakat.
Selain pengetahuan, kecukupan protein dan zat besi merupakan hal krusial dalam gizi remaja. Penelitian Putri, Dary, dan Mangalik (2022) menemukan bahwa remaja putri kerap mengalami kekurangan zat besi sehingga berisiko anemia. Kondisi ini memengaruhi daya konsentrasi, pencapaian akademik, bahkan kesehatan reproduksi di masa depan. Sementara itu, protein sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan dan otot, sehingga kekurangannya dapat menghambat perkembangan fisik remaja.
Zat besi juga memiliki hubungan erat dengan fungsi otak. Kekurangan zat ini dapat menyebabkan kelelahan, gangguan konsentrasi, serta penurunan kemampuan belajar. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi tidak hanya berimplikasi pada kesehatan fisik, tetapi juga keberhasilan remaja dalam pendidikan dan proses pengembangan diri. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan zat gizi mikro harus menjadi prioritas utama dalam pola makan remaja.
Gizi tidak hanya menyangkut tubuh, melainkan juga berhubungan erat dengan kondisi mental. Zavitsanou dan Drigas (2021) menyebutkan bahwa pola makan yang seimbang mendukung fungsi otak sekaligus menjaga kestabilan emosi. Nutrisi yang cukup, seperti vitamin, mineral, serta asam lemak esensial, terbukti mampu meningkatkan daya pikir sekaligus menurunkan risiko gangguan psikologis, seperti depresi dan kecemasan. Dengan demikian, gizi merupakan fondasi kesehatan menyeluruh bagi remaja.
Selain faktor biologis, pengaruh sosial juga memiliki peranan penting dalam kebiasaan makan remaja. Tekanan dari teman sebaya, tren makanan, serta media sosial sering kali membuat mereka lebih memilih makanan populer ketimbang makanan bergizi. Kondisi ini menantang upaya meningkatkan kesadaran gizi, karena pemahaman saja tidak cukup tanpa dukungan lingkungan yang sehat. Maka, strategi intervensi harus mempertimbangkan aspek sosial budaya agar lebih tepat sasaran.