Ada yang lebih sunyi dan dingin dari Kapel Sistina di kedalaman Istana Apostolik Vatikan saat konklaf---ruang hati para kardinal yang melangsungkan sidang atas nuraninya.
SEORANG lelaki memburu waktu, sengal napasnya perlahan tiba di pendengaran---hal yang kerap terdengar menghiasi scene-scene ke depan.
Langkah itu berpacu jauh, hingga zucchetto hadir di puncak kepalanya. Kemudian segalanya menjadi jelas---Sri Paus, pemegang tampuk tertinggi Takhta Suci, telah mangkat secara mendadak.
Lelaki berwajah muram, yang meragukan dirinya dan mengusung niat meninggalkan status yang dijabatnya, harus meneruskan langkah. Langkah yang bukan hanya kaki dan pikirannya, tetapi mengorkestrasi perhelatan konklaf untuk segera mendapatkan nama penerus takhta.
Sinopsis Film Conclave
Conclave (2024) adalah film yang mengisahkan bagaimana lelaki itu, Kardinal Thomas Lawrence (Ralph Fiennes), memanggul tanggung jawab selaku Dekan Dewan Kardinal untuk menunaikan konklaf guna mencuatkan sosok pemimpin dan kepemimpinan baru sebagai Paus.
Proses ini tidak semudah sebagaimana tertulis dalam dokumen dan sekalipun dalam perhelatan yang dikondisikan dalam ruang isolasi di Kapel Sistina, di kedalaman Istana Apostolik Vatikan. Ada kubu-kubu kepentingan yang bukan hanya untuk saling memajukan, tetapi juga saling meminggirkan.
Ada empat kandidat pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang menguat. Joseph Tremblay dari Kanada, Goffredo Tedesco dari Italia, Joshua Adeyemi dari Nigeria, dan Aldo Bellini dari Amerika Serikat.
Sebelum dan di tengah konklaf, Kardinal Lawrence ditantang untuk berlaku pandai sekaligus bijak berenang di atas ombak pergolakan. Lapis-lapis rumor yang harus dikelupas, dan pintu-pintu kebenaran yang harus ia ditemukan untuk dimasuki.
Setahap demi setahap harus dijalankannya, sebab tak seorang kandidat pun yang mencapai jumlah suara minimal yang disyaratkan. Selama itu pula wajah depresif Kardinal Lawrence memenuhi layar hingga detik terakhir saat ia membuka jendela untuk melegakan hati.
Inspirasi Film Conclave
Sebermula penciptaan, keberadaan manusia identik dengan keberbedaan---dan ambisi-ambisi yang menyertainya. Hippocrates yang berkesempatan menghirup napas pada abad ke-5 Sebelum Masehi telah memahaminya lebih jauh.
Pada masanya, dokter dan filsuf Yunani kuno yang dipandang sebagai Bapak Ilmu Kedokteran modern telah mengajukan premis bahwa setiap orang berbeda secara karakteristik dan perilaku.
Ia berkutat dengan teori bahwa perbedaan kepribadian pada manusia disebabkan oleh dominasi cairan tubuh tertentu. Menurutnya, ada 4 cairan utama yang memenuhi tubuh manusia dan memengaruhi kepribadiannya.
Seseorang dengan dominansi darah, menyebabkan dia patut diberi label sanguin. Jika dia dikuasai empedu kuning, maka layak masuk kotak berlabel kolerik. Dua lainnya adalah cairan empedu hitam berkontribusi menjadi sosok melankolik dan dominansi lendir menyebabkan flegmatik.
Apa yang membedakannya dengan para kardinal yang berada dalam istana isolasi? Sebagai tokoh-tokoh di level yang tinggi, pergulatan mereka adalah keberbedaan pandangan dan sikap. Dalam konteks konklaf di film ini adalah terbagi dalam diksi liberalis, konservatif, moderat, dan tradisionalis.
Itu sebabnya Conclave sebagai film berbasis cerita fiksi, bukan dokumenter kisah nyata, layak dinikmati sebagai refleksi diri kita semua dalam posisi saat ini dan bila tiba di level setingkat pada kardinal yang sedang bergulat dengan diri dan pilihannya masing-masing.
Dua Panggung dalam Gemuruh Pentas
Cerita untuk film ini, yang berasal dari novel karya Robert Harris dengan judul sama dan terbit pada 2016, sebenarnya sederhana saja. Inti cerita ini adalah mengisolasi sejumlah kardinal dalam sebuah istana dengan tugas memilih seorang pemimpin.
Melalui skenario (adaptasi) yang dibuat Peter Straughan yang mendapat ganjaran Piala Oscar 2025, sutradara Edward Berger menghadirkan dinamika yang intens sesuai tuntutan intensitas penceritaan yang menarik.
Drama dan intrik manusia-manusia "setengah dewa" dipentaskan sekaligus dalam dua panggung dengan gemuruh yang seolah tersekap dalam ruang sunyi dan dingin.
Pada panggung pertama, sutradara asal Jerman ini mengoptimal Kapel Sistina untuk mengadu kemampuan akting belasan aktor senior (secara pengalaman dan/atau secara usia) dalam memainkan kharisma.
Panggung kedua turut dimainkan adalah ruang terdalam bernama sanubari. Dalam relung-relung hati terhadap, berlangsung pula persidangan untuk menelisik nurani tiap-tiap sosok dengan ambisi yang terkemas rapi dalam penampakan.
Penonton dibuai dengan pesona gambar dan warna atraktif, melainkan dimanjakan dengan suguhan sunyi dan dingin dinding-dinding, tangga, pintu, dan temaram cahaya yang dimainkan di kedua panggung.
Kamera yang diset mengikuti karakter tokoh Kardinal Lawrence, menyuguhkan bingkai-bingkai cantik nan estetik seolah karya lukis yang layak diabadi dalam kanvas tak gerak.
Edward Berger pun melengkapinya dengan bahasa komunikasi manusia seminim mungkin tetapi efektif dan bahasa "asing" bernama sunyi dan dingin (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI