Belajar langsung dari ahlinya memang selalu memberikan kesan yang berbeda. Hal itulah yang saya rasakan saat mengikuti sebuah workshop perfilman yang diadakan oleh kampus. Tema workshop ini cukup menarik: "Belajar Bikin Film dari Praktisi Langsung." Narasumber kali ini bukan orang asing bagi kalangan mahasiswa komunikasi di UIN Sunan Kalijaga, beliau adalah Mulia Alif, seorang alumnus dari jurusan Ilmu Komunikasi yang kini dikenal sebagai pembuat film dokumenter dengan sentuhan humanis yang kuat.
Dari awal acara, suasana terasa akrab dan penuh semangat. Kak Mulia, begitu kami memanggilnya, tampil sederhana, penuh tawa, dan tidak terkesan menggurui. Namun siapa sangka, di balik penampilannya yang kalem itu, tersimpan banyak kisah perjuangan dan semangat pantang menyerah yang luar biasa.
Kak Mulia mengawali ceritanya dengan sangat sederhana. Dulu, saat masih menjadi mahasiswa, ia dikenal aktif dalam berbagai kegiatan kampus, khususnya di bidang dokumentasi. Karena pengabdian dan keseriusannya, ia akhirnya dipercaya untuk memegang peralatan dokumentasi kampus, termasuk kamera, yang kala itu merupakan barang mewah bagi seorang mahasiswa.
"Waktu itu saya belum bisa apa-apa soal bikin film," ujarnya sambil tersenyum mengenang masa lalu. "Tapi karena sering pegang kamera, ide-ide mulai bermunculan. Saya jadi tertarik ikut lomba-lomba film meskipun skill masih seadanya."
Inilah momen penting dalam perjalanan hidupnya. Dari sekadar dokumentasi kegiatan kampus, ia mulai mencoba menggarap karya sendiri. Dengan modal keberanian, kamera pinjaman, dan keinginan belajar yang besar, ia memberanikan diri untuk mengikuti lomba-lomba film.
Salah satu momen paling menginspirasi dalam cerita Kak Mulia adalah ketika ia memutuskan untuk mengangkat kisah sebuah desa di Yogyakarta. Tapi bukan sembarang desa, desa ini mayoritas dihuni oleh komunitas waria. Sebuah realitas yang sering luput dari sorotan media arus utama.
Kak Mulia mengisahkan bagaimana ia tersentuh oleh kenyataan bahwa banyak dari warga desa tersebut tidak memiliki identitas kependudukan seperti KTP atau akta kelahiran. Tanpa dokumen tersebut, mereka mengalami berbagai kesulitan, bahkan untuk hal yang mendasar seperti mengakses pendidikan.
"Bayangkan, ada anak-anak yang ingin sekolah tapi tidak bisa hanya karena tidak punya akta kelahiran," kata Kak Mulia dengan nada serius.
Melihat situasi itu, ia merasa perlu melakukan sesuatu. Lalu muncullah ide untuk membuat film dokumenter tentang desa tersebut. Ia ingin menunjukkan kepada publik bahwa masih banyak kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan tidak mendapat hak-haknya secara layak.
Dengan segala keterbatasan, ia pun menggarap film tersebut. Dibantu oleh warga desa yang sangat antusias, proses syuting berjalan lancar. Setelah selesai, film itu pun ia kirimkan ke sebuah perlombaan film dokumenter.
Tak disangka, film tersebut mendapat sambutan hangat dan berhasil meraih juara pertama. Hadiahnya? Delapan juta rupiah, jumlah yang sangat besar bagi seorang mahasiswa kala itu.
"Saya sampai nggak percaya," ujar Kak Mulia sambil tertawa. "Dulu sekali makan cuma dua ribu. Jadi uang delapan juta itu rasanya seperti mimpi."
Namun yang lebih mengharukan bukanlah soal uangnya, melainkan apa yang ia lakukan setelah menang. Ia kembali ke desa yang menjadi lokasi filmnya, membawa kabar gembira kepada para warga bahwa mereka menang lomba.
Ternyata, kabar baik tidak berhenti di situ. Saat ia menyampaikan rasa terima kasih kepada warga dan menawarkan sebagian hadiah sebagai bentuk apresiasi, warga desa malah memberi kabar mengejutkan. "Mereka bilang baru saja mendapat bantuan pemerintah sebesar seratus juta rupiah," cerita Kak Mulia dengan mata berbinar. "Katanya, mungkin karena film ini juga, jadi makin banyak yang tahu soal desa mereka."
Bagi Kak Mulia, ini menjadi titik balik. Ia semakin yakin bahwa film bukan hanya alat untuk bercerita, tapi juga bisa menjadi jembatan perubahan. Melalui kamera dan narasi yang jujur, sebuah desa kecil bisa didengar dan diperhatikan oleh dunia luar.
Pengalaman itu menjadi pemicu semangat bagi Kak Mulia untuk terus mencari cerita-cerita yang belum tersampaikan. Ia mulai menjelajah berbagai daerah terpencil, mencari komunitas-komunitas yang membutuhkan perhatian, lalu mendokumentasikannya menjadi karya yang menyentuh dan membuka mata.
"Film bukan hanya soal estetika atau cerita menarik. Tapi juga tentang siapa yang bicara, dan kepada siapa kita menyampaikan pesan itu," tuturnya.
Kini, selain aktif membuat film, Kak Mulia juga rutin menjadi pembicara di berbagai workshop dan pelatihan film. Ia ingin menularkan semangatnya kepada generasi muda, bahwa siapa pun bisa mulai membuat film, bahkan dari nol, asalkan ada tekad dan kemauan untuk terus belajar.
Workshop hari itu memberikan kesan mendalam bagi saya pribadi. Bukan hanya karena saya belajar teknis membuat film dari praktisinya langsung, tapi karena saya melihat sendiri bagaimana sebuah kamera bisa menjadi alat perjuangan. Kak Mulia Alif bukan hanya seorang filmmaker, tapi juga seorang penyambung suara bagi mereka yang selama ini terpinggirkan.
Dari kamera pinjaman hingga membawa perubahan nyata di sebuah desa, kisah Kak Mulia adalah bukti bahwa dengan niat, keberanian, dan cerita yang jujur, film bisa menjadi alat yang luar biasa untuk menyentuh hati dan membuka jalan perubahan.
Dan siapa tahu? Mungkin kamera di tangan kita berikutnya adalah awal dari cerita besar yang belum terbayangkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI