Malamnya, ibunya menelpon. Suaranya riang, "Nak, tetangga kita bangga banget! Katanya kamu sekarang orang kementerian!"
Maman  terdiam. "Iya, Bu," katanya lirih. "Maman  sekarang kerja di kementerian."
Lalu ia menutup telepon dengan dada sesak.
Enam bulan berlalu cepat. Hari terakhir magang, ia menerima sertifikat "pengalaman kerja." Tidak ada kontrak lanjutan. Tidak ada ucapan terima kasih yang sungguh-sungguh. Ia hanya satu dari ribuan nama yang menggantikan satu sama lain dalam lingkaran magang tanpa ujung.
Saat pulang ke kampung, ayahnya menyambut dengan senyum bangga. "Bagaimana kerja di kementerian, Nak?"
Sabil menatap kebun sayuran ayahnya yang siap panen Maman menjawab singkat. "Bagus, Bapak. Banyak yang bisa Maman pelajari."
Hari-hari selanjutnya Maman  kembali membantu bapaknya di kebun sayur, dengan kemeja putih bekas magang yang kini berubah jadi baju kerja lapangan.
Dalam hati, ia bergumam,
_"Mungkin di negeri ini, magang bukan sekadar status. Ia adalah metafora bagi rakyat---bekerja keras, dibayar murah, dan selalu dijanjikan masa depan yang tak pernah datang."_
Di tengah angin sore yang membawa bau tanah basah, Maman  tersenyum getir. Ia sadar, gelar _Cum Laude_ hanyalah kalimat indah di selembar kertas, bukan jaminan hidup layak. Negeri yang katanya mencintai pendidikan ternyata hanya tahu cara mempekerjakan pemikiran, bukan menghargainya.
Maman  hanya menjadi pemagang. Tapi di dalam hatinya, ada kemarahan yang perlahan berubah jadi tekad: suatu hari nanti, ia tak akan membiarkan generasi setelahnya hidup di negeri yang memperlakukan para sarjananya  seperti alat percobaan.**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI