Hari itu, di salah satu aula universitas terkemuka negeri ini dipenuhi wajah-wajah yang bersinar. Musik "Gaudeamus Igitur" berkumandang lembut, menandai awal upacara wisuda.
Di deretan bangku tengah, duduk seorang pemuda bertoga lengkap dengan selempang bertuliskan *"Cum Laude."* Namanya Maman. Anak satu-satunya dari pasangan petani di lereng Gunung Papandayan.
Ibunya datang dengan kebaya sederhana, kain batik yang sudah pudar warnanya, dan sandal jepit yang disembunyikan di balik rok panjangnya. Ayahnya duduk di belakang, menunduk haru.
Sesekali ia mengusap mata dengan saputangan lusuh. "Alhamdulillah Bu. Akhirnya anak kita sarjana," bisiknya.
Maman  menatap topi toga di kepalanya dengan perasaan campur aduk: lega, bangga, sekaligus cemas. Ia pernah berjanji pada dirinya sendiri, suatu hari nanti ia akan membawa ayah dan ibunya tinggal di kota. Di rumah yang atapnya tak bocor setiap kali hujan turun.
Ia percaya, menjadi sarjana ilmu sosial politik dari universitas ternama adalah tiket menuju hidup yang lebih baik.
Namun, hidup ternyata bukan seminar motivasi.
Tiga bulan setelah wisuda, Maman  sudah mengirimkan lebih dari seratus lamaran kerja. Ke kementerian, lembaga, media, dan bahkan LSM kecil yang tak jelas kantornya.
Semua berakhir dengan  balasan *"Terima kasih atas minat Anda, kami akan menghubungi bila Anda lolos ke tahap selanjutnya."* Dan yang disebut "tahap selanjutnya" itu  tak pernah datang.
Suatu hari, ia membaca pengumuman di laman Kementerian Ketenagakerjaan: *Program Magang Nasional 2025*. Dengan semangat yang mulai menurun, ia mendaftar. Hanya enam bulan program tersebut dan dibayar walaupun sebatas UMP, pikirnya. Siapa tahu dari sana ada pintu yang terbuka.