Saat ini jagat media sosial Indonesia diramaikan oleh dua tagar yang mencerminkan keresahan masyarakat: #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu. Tagar ini digunakan oleh mahasiswa dalam demonstrasi untuk menolak sejumlah kebijakan pemerintah.
Secara harfiah, "Indonesia Gelap" berarti "Indonesia dalam kegelapan." Dalam konteks ini, "gelap" digunakan secara metaforis untuk menggambarkan kondisi yang suram atau penuh ketidakpastian. Sedangkan  tagar #KaburAjaDulu terdiri dari tiga kata: "kabur" (melarikan diri atau pergi), "aja" (saja), dan "dulu" (terlebih dahulu). Secara keseluruhan, frasa ini dapat diartikan sebagai "pergi saja dulu."
Tagar #KaburAjaDulu dikenal juga sebagai "brain drain,": untuk menggambarkan fenomena manakala banyak anak muda berbakat memilih meninggalkan negara asalnya karena merasa kurangnya apresiasi atau kesempatan. Sedangkan kata "kabur" menunjukkan urgensi dan keinginan kuat untuk meninggalkan situasi yang dianggap tidak menguntungkan.
Kedua fenomena tersebut di Indonesia semakin diperkuat dengan adanya sejumlah kisah orang muda kita yang memilih meninggalkan Indonesia untuk bekerja atau menetap di negara lain dan data-data dari berbagai lembaga. Misalnya, kasus Dodi Romdani, mantan Kepala Desa Sukamulya di Ciamis, yang tanpa ragu mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 2024 dan kembali bekerja sebagai pekerja migran di Jepang.
Laporan JobStreet by SEEK yang berjudul "Decoding Global Talent 2024: Tren Mobilitas Pekerja." misalnya, mengungkapkan 67% tenaga kerja Indonesia memiliki keinginan untuk bekerja di luar negeri, dengan sepertiga di antaranya berencana untuk kembali ke Indonesia setelah lebih dari tiga tahun. Hal ini menunjukkan minat yang signifikan dari profesional muda Indonesia untuk mencari peluang di luar negeri. Alasanya antara lain gaji yang lebih tinggi, kesempatan pengembangan karier, dan kualitas hidup yang lebih baik.
Para pengamat dan pakar memiliki berbagai pandangan ihwal viralnya kedua tagar ini di media sosial. Setyo Budiantoro, dosen dan fellow di Massachusetts Institute of Technology (MIT), berpendapat bahwa demonstrasi dengan tagar tersebut bukan sekadar peristiwa politik biasa. Menurutnya, terdapat kesenjangan yang signifikan antara kebijakan pemerintah dan realitas yang dirasakan oleh masyarakat.
Seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia mengemukakan bahwa tagar ini mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-rakyat. Ia menilai bahwa aksi ini merupakan bentuk protes terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat.
Dari sudut pandang ekonomi, sejumlah pengamat ekonomi menyoroti bahwa kemunculan tagar ini merupakan respons terhadap berbagai masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, seperti kelangkaan lapangan kerja dan ketidakstabilan ekonomi. Mereka menekankan pentingnya pemerintah untuk lebih fokus pada kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Secara keseluruhan, pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa tagar #IndonesiaGelap dan  #KaburAjaDulu mencerminkan berbagai kekhawatiran dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi politik dan ekonomi saat ini.
Sayangnya dalam menanggapi tren kedua tagar ini para pejabat pemerintahan Prabowo-Gibran justru cenderung memberikan pandangan yang negative, kurang menyentuh inti permasalahan, bahkan terlihat naif. Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, misalnya, mengimbau masyarakat untuk tetap menikmati destinasi dalam negeri dengan pernyataannya, "Jalan-jalan di Indonesia saja, jangan kabur."
Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), juga menanggapi tagar #IndonesiaGelap dengan menyatakan bahwa tagar tersebut tidak mencerminkan kondisi sebenarnya di Indonesia.
Kemudian Opung Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), memberikan respons tegas terhadap viralnya tagar #IndonesiaGelap ini. Luhut menegaskan bahwa meskipun terdapat kekurangan, Indonesia masih berjalan dengan baik, dan permasalahan yang ada tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti Amerika Serikat.
Dalam pidatonya, bahkan Luhut menyatakan, "Jadi, kalau ada yang bilang itu Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia." Pernyataan ini tentu saja menuai sorotan negative karena dianggap arogan dan kontroversial.
Secara keseluruhan, respons dari para pejabat ini menunjukkan kecenderungan untuk mengabaikan atau menepis kritik yang disampaikan melalui tagar-tagar tersebut, tanpa secara langsung menangani isu-isu substantif yang diangkat oleh masyarakat.
Sesungguhnya, fenomena kedua tagar ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mempertahankan talenta mudanya. Keinginan untuk "kabur" ke luar negeri bukan hanya sekadar tren, tetapi juga indikasi adanya masalah struktural yang perlu segera diatasi.
Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, di mana generasi muda merasa dihargai dan memiliki peluang untuk berkembang tanpa harus meninggalkan tanah air. Dalam menghadapi situasi ini, penting bagi masyarakat untuk tetap kritis namun konstruktif. Dialog antara pemerintah dan warga harus terus dibuka, sehingga solusi yang dihasilkan dapat mengakomodasi kepentingan bersama dan mencegah "brain drain" yang dapat merugikan masa depan Indonesia.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI