Gaya komunikasi politik presiden merupakan cara seorang kepala negara menyampaikan gagasan, kebijakan, dan pesan kepada publik. Komunikasi ini berperan dalam membentuk citra kepemimpinan, membangun legitimasi, serta memengaruhi kepercayaan masyarakat. Denis McQuail dalam bukunya McQuail's Mass Communication Theory (2010) menjelaskan bahwa komunikasi politik berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan membentuk opini publik. Sementara Teun A. van Dijk dalam Discourse and Power (2008) menekankan bagaimana bahasa digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.
Dalam kepemimpinan, komunikasi politik berfungsi untuk menjelaskan kebijakan, memperkuat hubungan dengan masyarakat, dan mengelola krisis. Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1956) menyoroti pentingnya penyampaian pesan dalam konteks publik, sementara Geoffrey Leech dalam Principles of Pragmatics (1983) menekankan keseimbangan antara ketegasan dan kehati-hatian. Joseph Nye dalam Soft Power: The Means to Success in World Politics (2004) juga menggarisbawahi bahwa komunikasi yang persuasif dapat meningkatkan dukungan tanpa paksaan.
Baik Jokowi maupun Prabowo memiliki pendekatan komunikasi yang berbeda, yang memengaruhi citra dan efektivitas kepemimpinan mereka dalam menjalankan pemerintahan.
Mantan Presiden Joko Widodo, atau yang akrab disapa Jokowi, memiliki gaya komunikasi yang khas dan mudah dikenali. Salah satu ciri utamanya adalah penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat luas. Hal ini membuat pesan yang disampaikan lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan. Selain itu, gaya komunikasi Jokowi cenderung rendah konteks. Artinya ia lebih banyak menggunakan kata-kata langsung dan eksplisit dalam menyampaikan pesan.
Jokowi juga dikenal dengan gaya komunikasi "planga-plongo";Â sebuah istilah yang menggambarkan ekspresi wajah dan cara berbicara yang terkesan polos, bingung, atau terlampau sederhana dalam menanggapi suatu situasi. Istilah ini muncul sebagai bentuk kritik terhadap gaya komunikasinya yang kadang dianggap kurang tegas atau terlalu santai dalam merespons isu-isu serius.
Penyematan istilah ini berakar dari kebiasaannya yang sering kali tersenyum dan tampak seolah berpikir sebelum menjawab pertanyaan, yang oleh sebagian pihak diartikan sebagai strategi komunikasi untuk menarik simpati publik dan meredakan ketegangan dalam diskusi politik.
Selama masa kepemimpinannya, Presiden Jokowi telah membuat berbagai janji kampanye yang mencakup berbagai sektor penting seperti ekonomi, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga pemberantasan korupsi. Namun, realisasi dari janji-janji tersebut tidak selalu sejalan dengan ekspektasi awal. Misalnya, dalam bidang pertumbuhan ekonomi, Jokowi berjanji akan membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai 7% per tahun, tetapi realisasinya hampir selalu di bawah target.
Janji Jokowi untuk membuka 10 juta lapangan kerja, baik selama periode pertama maupun keduanya ternyata hanya fatamorgana belaka. Sedangkan Pembangunan infrastruktur yang merupakan salah satu bidang di mana Jokowi kita akui cukup berhasil dengan banyaknya proyek jalan tol, pelabuhan, dan bandara, meskipun beberapa proyek menghadapi tantangan dalam hal penyelesaian dan dampak sosial. Begitu pula  dampak ikutanya telah menjadikan utang luar negeri Indonesia menjadi berkali lipat dan meningkatnya kejahatan korupsi
Berbeda dengan Jokowi, gaya komunikasi politik Presiden Prabowo Subianto memiliki ciri khas yang unik. Sebagai seorang politisi dan mantan jenderal, cara berbicara Prabowo mencerminkan kombinasi antara ketegasan militeristik, keberanian, dan kepribadian yang karismatik. Dalam setiap pidato atau wawancara, ia sering kali menampilkan keyakinan yang kuat terhadap apa yang disampaikannya.
Pesan-pesannya sering kali disampaikan dengan pengulangan frasa-frasa kunci, yang membuatnya mudah diingat oleh pendengarnya. Dengan cara ini, Prabowo tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun resonansi emosional, menciptakan semangat dan rasa persatuan di antara para pendukungnya.